Opini
Opini Ir Tjoek Suroso Hadi: Mungkinkah 2024 Presiden Baru dan Ibu kota Baru?
PEMINDAHAN Ibukota Negara RI dari kota Jakarta ke tempat lain, terasa sudah di ambang pelaksanaannya. Jangan sampai terus menerus hanya menjadi wacana
Opini Ditulis Oleh Ir. TJOEK SUROSO HADI. MT (Dosen Teknik Planologi Unissula Semarang)
TRIBUNJATENG.COM - PEMINDAHAN Ibukota Negara RI dari kota Jakarta ke tempat lain, terasa sudah di ambang pelaksanaannya. Jangan sampai terus menerus hanya menjadi wacana berkepanjangan tanpa ada realisasinya. Dan saat ini pun titik Nol IKN sudah ditentukan. Konon Pemerintah telah mentargetkan tahun 2024 ada 16.990 orang ASN bisa pindah ke IKN, yang akan diberikan berbagai fasilitas.
Oleh karena itu sudah saatnya Presiden RI yang baru nanti dapat merealisasikan pemindahan Ibukota RI dari kota Jakarta ke tempat lain di wilayah Negara RI, tentu secara bertahap. Namun terlebih dulu kita bahas, mengapa Ibukota Negara perlu dipindahkan?
Kota Jakarta yang dahulu sangat ideal untuk dijadikan pusat pemerintahan, budaya, ekonomi, perdagangan, maupun politik, sekarang sudah tidak ideal lagi. Kondisi kota Jakarta yang sekarang ini tampaknya sudah sangat semrawut dan tidak layak sebagai Ibukota Negara.
Secara fisik permasalahan yang sekarang muncul di kota Jakarta, adalah dengan adanya banjir, kemacetan lalu-lintas, permasalahan sosial kemasyarakatan, pertambahan penduduk, kualitas kejahatan, tawuran antar pelajar atau antar Geng, dan seterusnya. Sehingga menjadikan kota Jakarta semakin, hiruk pikuk dan “gaduh”.
Overload
Pada persoalan kemacetan lalu-lintas, dapat terlihat betapa seluruh jalan raya di kota ini sudah sangat padat dan overload. Apabila sudah terjadi kemacetan lalu-lintas, maka kecepatan kendaraan di sana paling banter 5 Km/jam, malahan hampir pasti lalu-lintas sering macet total, sehingga semua kendaraan tidak bisa bergerak sama sekali.
Fenomena ini muncul hampir setiap hari di seluruh jalan reguler di Jakarta. Bahkan kemacetan tadi bisa merambah sampai ruas jalan tol. Sehingga sangat ironis bahwa jalan Tol yang seharusnya bebas hambatan pun bisa terjadi kemacetan. Selanjutnya kondisi kemacetan diperparah dengan adanya iring-iringan mobil pejabat yang akan minta jalan, sehingga harus mampu membelah kemacetan lalu-lintas yang sangat rumit.
Kondisi itu diperparah dengan semakin sempitnya ruas jalan, karena telah diiris sebagian untuk jalur “Bus Way”.
Selanjutnya fenomena banjir yang telah merambah di seluruh wilayah Jakarta, sudah menjadi pemandangan yang biasa, sehingga dari kondisi itu dapat disimpulkan bahwa kondisi drainase kota tidak berjalan sesuai yang diharapkan.
Sungai-sungai besar yang membelah kota semakin sempit, kotor, kumuh, dan sampah sering menyumbat gorong-gorong, sehingga kondisi ini sangat tidak ideal lagi. Apalagi wilayah perbukitan di sebelah selatan Kota Jakarta, sering mengalami alih fungsi lahan, sehingga jika terjadi hujan, air hujan akan menggelontor ke wilayah Jakarta, dan menjadi banjir.
Kemudian dari aspek perilaku, masyarakat yang mukim di Jakarta kurang disiplin dalam hal buang sampah, sering terjadi perkelahian, dan kejahatan lainnya. Persoalan perilaku dan berkehidupan kota, maka oleh “Piotr Sztompka” (2007), bahwa perilaku masyarakat kota sudah mendunia, yaitu mengalami Globalisasi kultur.
Ideal
Sedemikian hebatnya penetrasi kultural barat ternyata mampu mempengaruhi penduduk perkotaan di dunia, yang akhirnya mereka menjadi cerdas, kritis, mengetahui persoalan hukum namun menjadi sombong, dan akhirnya sifat guyup masyarakatmenjadi pudar.
Opini Hamzah Jamaludin: Buzzer dan Kebisingan di Ruang Publik |
![]() |
---|
Opini Paloma Paramita: Generasi Z Menjadi Aset atau Ancaman Bagi Perusahaan? |
![]() |
---|
OPINI Diannita Ayu Kurniasih : Pelaporan Belajar oleh Murid |
![]() |
---|
Opini Dr. Aloys Budi Purnomo Pr: Memulihkan Harmoni Ekologis |
![]() |
---|
Opini Ronaldo: Tingkatkan Produktivitas dengan Menjaga Kesehatan Mental Pekerja |
![]() |
---|