Opini
Opini Saratri Wilonoyudho: Profesor Kelas Koran
ARTIKEL ini ditulis karena saya mendengar dua hal. Pertama, ketika dalam sebuah pengukuhan profesor, seorang rektor “mengejek” salah satu profesor yan
Opini Ditulis Oleh Saratri Wilonoyudho (Ketua Koalisi Kependudukan Jawa Tengah)
TRIBUNJATENG.COM - ARTIKEL ini ditulis karena saya mendengar dua hal. Pertama, ketika dalam sebuah pengukuhan profesor, seorang rektor “mengejek” salah satu profesor yang rajin nulis di koran yang nadanya dianggap kurang bermutu dibandingkan menulis di jurnal ilmiah. Yang kedua, maraknya kasus perjokian jurnal ilmiah untuk mencapai jabatan profesor.
Keharusan mempublikasikan di jurnal internasional telah membangunkan banyak perguruan tinggi kita. Berbagai workshop atau seminar “tentang jurnal internasional” digelar di berbagai tempat, dengan mengundang pelatih, reviewer, penterjemah bahasa, serta mereka yang sudah berpengalaman di jurnal internasional.
Tentu berbagai kegiatan ini telah menghabiskan dana miliaran rupiah, belum termasuk yang harus dibayarkan untuk masuk ke jurnal internasional tertentu. Tentu saja akan menguntungkan pula secara material ke jurnal-jurnal internasional di luar negeri tersebut. Padahal untuk masalah sosial budaya khas Indonesia, mestinya jurnal nasional yang lebih paham.
Di sisi lain, para dosen memiliki “bakat” yang berbeda-beda dalam mengembangkan budaya ilmiah. Ada yang jagoan penelitian, namun karena keterbatasan berbahasa Inggris, ia jadi kesulitan menulis di jurnal internasional. Ada yang jagoan membuat buku bermutu atau ada pula yang rajin menulis di media massa.
Bagaimana Koran
Dari sketsa singkat di atas, mengapa kita melupakan koran sebagai sarana aktualisasi diri dan untuk mengevaluasi kinerja para dosen, khususnya calon profesor ? Apa ada semacam “kesombongan” bahwa menulis di koran itu sangat mudah.
Padahal banyak dosen atau para profesor yang sulit menembus menulis di Koran. Banyak Koran bermutu yang tidak “silau” jabatan profesor. Profesor dapat menulis di kolom opini, yang tetap memiliki bobot ilmiah yang sama dengan bahasa popular, to the point, dan ditujukan untuk khalayak umum, termasuk para pengambil kebijakan.
Beberapa hari yang lalu saya ditelepon ajudan Sri Sultan Hamengku Buwono X karena beliau tertarik dengan tulisan saya di Kedaulatan Rakyat. Sebelumnya beberapa kepala daerah dan instansi juga sering mengundang saya karena tertarik juga tulisan di kolom opini yang mereka nilai perlu ditindaklanjuti untuk diimplementasikan.
Demikian juga tulisan saya di Kompas pada Tahun 1994 menarik perhatian Kemendikbud, dan akhirnya memasukkan tulisan di koran sebagai kum kredit penelitian atau karya ilmiah (Kum B), yang sebelumnya masuk kategori Kum D atau lain-lain.
Tetap Ilmiah
Betapa cepatnya pengaruh artikel di koran dalam ikut memecahkan persoalan masyarakat. Kolom opini tetap ilmiah karena ada data ilmiah atau sumber pustaka ilmiah pula, yang langsung menyumbang pikiran kepada masyarakat atau ke pemerintah. Dialektika berjalan dalam hitungan hari, karena jika opini tidak pas, akan muncul tanggapan dari pembaca lain. Artinya tulisan opini menjadi valid dan kredibel.
Bandingkan jurnal ilmiah, untuk dimuat perlu waktu setahun, yang kadang masalahnya sudah basi, kecuali penelitian dasar. Jadi ada kelebihan dan kekurangan. Di Koran para profesor dapat menyoroti berbagai masalah yang actual dan hangat sesuai latar belakang ilmunya, seperti banjir, kemacetan, pilkada, ekonomi, bencana, kebudayaan masyarakat, sastra, pembangunan secara umum dan sebagainya.
Nah kalau menulis di koran bermutu menjadi salah satu kriteria penilaian kinerja (calon) profesor, maka akan banyak dipetik beberapa keuntungan, yakni (calon) profesor tersebut dapat menyebarkan ide-ide secara cepat karena terbitnya koran harian.
Ide atau gagasan di kolom opini/ilmu pengetahuan langsung menyentuh akar masalah di daerah atau masalah nasional, dan ini berarti ada dinamika yang cepat. Bagi kepala daerah atau menteri, ide-ide ini sangat bermanfaat untuk dijadikan bahan kajian lebih lanjut. Bagi (calon) profesor, ide yang dimuat di koran juga dapat didiskusikan dengan kolega atau para mahasiswa.
Opini Nanang Qosim: Indonesia Butuh Pemimpin Ndeso |
![]() |
---|
OPINI : Sekolah Perlu Terapkan Model Pengembangan Kurikulum Tadarus |
![]() |
---|
Opini: Penghayatan Nilai-nilai dan Atribut Ketuhanan sebagai Landasan Moral Keindonesiaan |
![]() |
---|
Opini DR Muhammad Junaidi : Dilema RUU Perampasan Aset dan Cita-cita Menjadi Koruptor |
![]() |
---|
Opini R Wulandari: Menyoal Cukai atas Minuman Berpemanis |
![]() |
---|