Opini
Opini Nanang Qosim: Mengantisipasi Konflik Pilpres 2024
Dinamika sosial dan kenegaraan masih punya potensi diwarnai sikap abai terhadap toleransi. Intoleransi menimbulkan kerawanan konflik hingga berpotensi
Opini Ditulis Oleh Nanang Qosim, M.Pd (Dosen Agama Islam Poltekkes Kemenkes Semarang)
TRIBUNJATENG.COM - Dinamika sosial dan kenegaraan masih punya potensi diwarnai sikap abai terhadap toleransi. Intoleransi menimbulkan kerawanan konflik hingga berpotensi menimbulkan jatuhnya korban.
Dalam konteks Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 di Indonesia, kontestan jika hanya dua pasangan capres/cawapres punya “potensi” menimbulkan bipolarisasi ekstrem.
Karena itu, konflik akan berpotensi lebih tinggi dibandingkan Pilpres sebelumnya. Paling tidak ini analisa yang berangkat dari fenomena Pilpres 2019.
Pilpres 2024 tinggal setahun lagi. Doa kita bersama; semoga tidak terjadi perang media yang pernah kita saksikan saat itu yang saling serang di dunia maya, hingga kampanye hitam/hoaks hadir setiap detik.
Ruang kontentasi saat itu berpotensi mengarah pada hadirnya konflik. Fenomena kecil terjadi di mana-mana diantaranya berkelahi lantaran adu mulut membela capres dukungannya. Potensi konflik ini menjadi tantangan yang perlu diantisipasi dan dikelola sejak dini.
Peta Kerawanan
Scannell (2010) memaparkan, bahwa konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu. Konflik berjalan mulai dari tahap diskusi. Jika masing-masing pihak mau menang sendiri, maka proses berlanjut ke tahap polarisasi. Perkembangan selanjutnya jika tidak ada lagi objektivitas, maka konflik memasuki tahap segregasi (saling menjauh, putus komunikasi). Terakhir dan paling berbahaya jika segregasi tidak bisa ditangani secara baik, maka konflik memasuki tahap destruktif.
Kerawanan konflik pertama kali penting diamati berdasarkan peta “spasial” basis parpol dan sebaran caleg. Ruang geografis sifatnya statis dan konstan, sedangkan pelaku dan aktivitas politik yang mewarnai sangat dinamis dan tidak sedikit jumlahnya. Ruang tertutup tersebut menjadi medan kompetisi politik yang niscaya menghadirkan singgungan dan overlapping antar kontestan.
Tim sukses pemenangan capres dari tingkat pusat hingga daerah, merupakan komponen yang rawan terlibat konflik. Hal ini disebabkan oleh interaksi di antara mereka yang bermotivasi sama, yaitu mencari kemenangan.
Target lumbung suara umumnya terkonsentrasi di wilayah berpenduduk besar. Tantangan bagi partai politik adalah menyebar konsentrasi aktivitas politiknya dengan mengandalkan basis partai politik dan relawan. Gesekan berpotensi muncul antar tim sukses hingga antar warga yang menjadi sasarannya.
Elemen tim sukses dan relawan merupakan garda terdepan dalam perjuangan politik di Pilpres 2024. Kerawanan dapat diantisipasi dengan memahami peta jaringan dan pergerakan yang meraka lakukan. Semakin rinci informasi yang dimiliki akan semakin memudahkan upaya antisipasi sekaligus resolusi jika konflik terjadi.
KPU sejak dini perlu memetakan daerah berpotensi konflik. Mabes Polri dan jajaran ke bawah juga pasti memetakan daerah konflik politik yang tersebar di wilayah Indonesia. Sebagian besar akar kerawanan adalah sengketa agraria, perkebunan, pertambangan, serta pemilu atau pilkada. Konflik terjadi umumnya setelah masuk pada ranah politik atau terpolitisasi.
Manajemen konflik
Opini Dr. Aloys Budi Purnomo Pr: Memulihkan Harmoni Ekologis |
![]() |
---|
Opini Ronaldo: Tingkatkan Produktivitas dengan Menjaga Kesehatan Mental Pekerja |
![]() |
---|
Opini Paulus Mujiran: Berburu Tiket Calon Wakil Presiden |
![]() |
---|
Opini Nanang Qosim: Indonesia Butuh Pemimpin Ndeso |
![]() |
---|
OPINI : Sekolah Perlu Terapkan Model Pengembangan Kurikulum Tadarus |
![]() |
---|