Penjualan Ritel Diyakini Tetap Tumbuh Meski Kasus Covid-19 Naik Lagi
Saat ini masyarakat sudah memiliki pengalaman dalam menghadapi covid-19, dan sudah terbiasa dengan berbagai prosedur protokol covid-19.
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Meski kasus covid-19 kembali mengalami peningkatan dalam beberapa waktu terakhir, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) meyakini hal itu tak akan mengganggu penjualan ritel.
Satgas covid-19 pada Kamis (27/4) mencatat sebanyak 1.879 kasus baru dalam sehari. Dengan demikian, total kasus infeksi virus corona di Indonesia hingga kini tercatat mencapai 6,76 juta.
Ketua Umum APPBI, Alphonzus Widjaja menilai, saat ini masyarakat sudah memiliki pengalaman dalam menghadapi covid-19. Ia juga menganggap masyarakat sudah terbiasa dengan berbagai prosedur protokol covid-19, sehingga dirasa tak akan mengganggu mobilitas.
"Demikian juga dengan tingkat kekebalan terhadap covid-19 yang sudah jauh lebih baik daripada 3 tahun yang lalu saat pandemi covid-19 mulai merebak," ucapnya, kepada Kontan, Jumat (28/4).
Alphonzus pun berharap covid-19 dapat tetap terkendali dan tak berdampak besar terhadap penjualan ritel. Namun, ia tetap optimistis rata-rata tingkat kunjungan pusat perbelanjaan pada 2023 ini akan melebihi 100 persen jika dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi covid-19.
Adapun, Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah menilai, peningkatan kasus covid-19 belum menjadi ancaman bagi penjualan ritel. Meski tetap harus diwaspadai, sampai saat ini hal itu bukan menjadi sesuatu yang serius.
Berkaca pada kasus covid-19 di Jepang, dia menambahkan, hal itu sudah dianggap biasa seperti flu pada umumnya, dan tak menjadi ancaman serius.
"Jadi, kenaikan kasusnya tidak lagi dianggap ancaman yang kemudian akan memaksa pemerintah membatasi mobilitas masyarakat, sehingga berdampak kepada konsumsi," paparnya, kepada Kontan, Jumat (28/4).
Piter pun berpendapat, sejauh ini belum melihat kenaikan kasus covid-19 akan mengurangi penjualan ritel di Indonesia.
Menurut dia, apabila dalam beberapa bulan ke depan penjualan ritel menurun, itu lebih dikarenakan faktor seasonal atau musiman, di mana sektor konsumsi seusai Lebaran umumnya memang mengalami penurunan.
Insentif
Sementara, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, insentif pemerintah berkontribusi besar dalam mendorong daya beli masyarakat.
Menurut dia, pendorong daya beli masyarakat saat ini ada dua, yaitu dipengaruhi income (pendapatan) dan living cost (biaya hidup). Terkait dengan sisi income, insentif yang diberikan pemerintah sangat membantu para pelaku usaha untuk mendorong daya beli.
Bercermin pada kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor tertentu yang terkena dampak global, ia beranggapan, insentif sangat penting untuk meminimalisir PHK. Namun, Faisal menyebut, ada dampak negatif juga ketika insentif yang diberikan kepada pelaku usaha itu tak cukup.
"Kalau insentif yang diberikan tidak cukup, keluar peraturan boleh menurunkan gaji jadi 20 persen. Dengan demikian, akan mengganggu income dan berdampak terhadap daya beli masyarakat," bebernya, Kamis (27/4).
Oleh karena itu, Faisal menyatakan, pemberian insentif menjadi hal yang penting untuk mendorong daya beli. Meski demikian, dia menambahkan, pendorong daya beli bukan hanya dari bantuan sosial.
Sebab, ia berujar, bansos hanya sebatas memberikan dorongan melalui tunai atau transfer. Dia beranggapan, seharusnya pemerintah juga menciptakan lapangan kerja, program padat karya, dan memberi kemudahan untuk kredit.
Faisal pun mengapresiasi restrukturisasi kredit yang diperpanjang oleh pemerintah hingga 2023, dan tak jadi diberhentikan pada 2022. Selain itu, pemerintah juga perlu mengendalikan dari sisi harga komoditas. (Kontan.co.id/Ferry Saputra)