Opini

Opini Andi Muhammad Sary Sakti: Fenomena Caleg Selebriti dalam Pemilu di Indonesia

Fenomena caleg artis/selebriti bukan hal yang baru terjadi, mungkin sudah banyak orang yang menulis atau bahkan sampai meneliti fenomena artis/selebri

Editor: m nur huda
Tribun Jateng
Opini Ditulis Oleh Andi Muhammad Sary Sakti (Mahasiswa Magister Ilmu Politik Undip) 

Opini Ditulis Oleh Andi Muhammad Sary Sakti (Mahasiswa Magister Ilmu Politik Undip)

TRIBUNJATENG.COM - Fenomena caleg artis/selebriti bukan hal yang baru terjadi, mungkin sudah banyak orang yang menulis atau bahkan sampai meneliti fenomena artis/selebriti yang maju dalam kontestasi Pemilu. Fenomena tersebut bukan hanya terjadi di Negara demokarsi ‘gelombang ke tiga’ seperti Indonesia, fenomena tersebut juga terjadi di Negara-negara yang tingkat demokrasinya tinggi.

Dalam konteks Pemilu di Indonesia, sejak tahun 2009, sampai dengan Pemilu 2024 yang akan datang, pasti ada nama-nama ‘mengejutkan’ dari kalangan artis dan selebriti yang maju dalam kontestasi Pemilu DPR RI maupun DPRD Provinsi ataupun kabupaten/kota.

Hal tersebut bisa terbilang lumrah terjadi di Negara-negara demokrasi apalagi system Pemilu kita memberikan kesempatan bagi siapa saja warga Negara Indonesia yang ingin maju menjadi wakil rakyat ataupun kepala daerah dengan catatan harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh perundang-undangan, akan tetapi masyarakat harus diberi tahu bahwa popularitas bukan segalanya, popularitas dan kapabilitas adalah dua hal yang sangat jauh berbeda.Orang yang bergelimang popularitas belum tentu bisa mengemban tugas sebagai politisi yang harus bertanggung jawab kepada daerah konstituennya.

Di sini juga penulis tidak mengatakan bahwa artis dan selebriti tidak boleh maju sebagai politisi. Siapapun boleh menjadi politisi tersmasuk selebriti, asalkan memiliki pengetahuan politik, dan political interest (ketertarikan terhadap politik). sebelum memutuskan untuk maju sebagai wakil rakyat atau kepala daerah, seseorang tersebut harus mengetahui persoalan publik, dan menyadari bahwa mereka akan memiliki peran yang penting dalam memutuskan kepentingan publik.

Selain itu, hal yang harus disorot terkait dengan adanya fenomena caleg artis/selebriti adalah kemampuan partai politik dalam kaderisasi anggotanya, sehingga memilih cara ‘instan’ dengan melamar public figure seperti selebriti untuk maju bersama partainya. Artinya mayoritas partai sudah tidak mengutamakan ideologi partainya, akan tetapi memanfaatkan popularitas selebriti yang bukan didikan partai untuk mendulang suara. Dalam hal popularitas, kader partai yang militan tentu kalah saing dengan selebriti yang mungkin hampir tiap hari tampil di televisi maupun di media-media digital lainnya.

Kemudian, selebriti juga dianggap mampu mengatasi “cost politic” dalam masa kampanye. Selebriti tentu memiliki biaya yang cukup besar untuk maju dalam kontestasi Pemilu. Tidak heran jika partai menginginkan selebriti untuk memakai “kendaraannya” untuk maju sebagai politisi. Karena memiliki dua aspek penting, yaitu popularitas, dan biaya.

Jika ditarik ke dalam teori perilaku memilih, fenomena banyaknya selebriti yang maju sebagai politisi tersebut juga menunjukkan bahwa perilaku memilih masyarakat kita cenderung masuk ke dalam kategori pemilih psikologis; faktor psikologis yang terbangun pada pemilih justru bukan karena proses sosialisasi politik yang dilakukan oleh partai politik, melainkan dari selebriti yang diidolakan karena masyarakat sering menonton selebriti tersebut di televisi sehingga tertarik dan memiliki perasaan dekat dengan selebriti tersebut. Peluang tersebut yang dilihat oleh partai politik sehingga banyak partai politik yang merekrut atau menerima selebriti yang ingin maju sebagai caleg atau kepala daerah. Seharusnya, dalam menentukan pilihan politik, ketertarikan dan perasaan dekat terhadap figure tertentu saja tidak cukup, harus juga melihat rekam jejak, dan visi-misi calon kandidat.

Terlepas dari itu semua, masyarakat memang memiliki peran penting dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Dibutuhkan edukasi politik yang lebih massive lagi agar masyarakat tidak keliru dalam menentukan pilihannya, ketika masyarakat sudah ‘dewasa’ berpartisipasi politik, orang-orang yang tidak memiliki kapasitas untuk mewakili kepentingan masyarakat di parlemen maupun menjadi kepala daerah dan hanya bermodalkan popularitas akan berpikir panjang untuk mencalon kan diri, karena peluang terpilihnya kecil. Tidak hanya itu, jika pemilih kita teredukasi dengan baik, praktik-praktik kotor seperti ‘money politic’, dan klientelisme akan tidak laku lagi sehingga Pemilu menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas. (*tribun jateng cetak)

Sumber: Tribun Jateng
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved