Fokus
Fokus: Sekecap Kenikmatan Membawa Sengsara
Dalam sebuah acara halalbihalal pada Syawalah Idulfitri 1444 H di kampung kami, ustadz yang diundang untuk mengisi tausiah menjelaskan tentang makna k
Penulis: rustam aji | Editor: m nur huda
Tajuk Ditulis Oleh Wartawan Tribun Jateng, Rustam Aji
TRIBUNJATENG.COM - Dalam sebuah acara halalbihalal pada Syawalah Idulfitri 1444 H di kampung kami, ustadz yang diundang untuk mengisi tausiah menjelaskan tentang makna kenikmatan. Satu di antara kenikmatan yang dijelaskan adalah kenikmatan makan. Ya, pada momen lebaran Idulfitri, hampir semua keluarga muslim menyuguhkan atau menghidangkan makanan yang enak untuk para tamu.
Namun, tahukah bahwa semua jenis makanan yang kita makan, baik yang lezat-lezat maupun yang rasanya biasa saja, setelah masuk ke perut, maka keluarnya tetap sama: berupa kotoran. Sejatinya, kenikmatan makanan hanya ‘sekecap’ saat masih berada di mulut. Di sinilah lidah sebagai indera perasa akan merasakan apakah makanan itu nikmat atau tidak. Pasca dikunyah, lalu ditelan masuk tenggorokan, tidak ada rasa yang bisa kita nikmati kecuali merasakan kenyang saat masuk perut.
Kenikmatan yang hanya sekecap itu, pastinya semua orang pernah merasakannya. Sebab, ada yang berprinsip apa yang kita lakukan, adalah untuk mencari makan. Tak berlebihan bila sudah menyangkut urusanan makanan, orang bisa bertengkar bahkan tak mustahil saling membunuh. Padahal ini hanya sebuah kenikmatan duniawi. Kenikmatan sementara. Meski begitu, kenikmatan yang sebentar ini, dalam meraihnya tak jarang dilakukan secara membabi buta. Apalagi, seseorang bila tak makan dalam beberapa bisa mati.
Banyak kita saksikan hingga saat ini, banyak pejabat dari mulai tingkat desa misalnya kepala desa sampai pejabat tinggi, menteri, melakukan korupsi. Bukan karena mereka kekurangan makanan. Karena, secara kasat mata, hidup mereka sudah lebih dari cukup. Rumah tidak satu, kendaraan lebih dari dua, uang melimpah tersimpan di sejumlah rekening bank. Namun apa? Mereka belum merasa cukup. Masih kurang --bukan kekeurangan-- sehingga selalu ingin menambah dan menguasai harta lebih banyak dan lebih banyak lagi. Alhasil, korupsi-lah jalan keluarnya. Mereka gelap mata. Memanfaatkan jabatan untuk mengeruk harta.
Walaupun begitu, kenikmatan sekecap tadi, yang ujungnya jadi kotoran dan jadi sampah, membuat banyak orang tak kapok. Satu ditangkap, masih ada lagi. Seolah tiada habisnya. Inilah kenyataan di negeri ini, meski kenikmatan yang hanya sekecap dan telah membawa sengsara anak keturunan, namun toh tetap menjadi pilihan.
Apalagi kita saksikan sendiri, para koruptor mendapat keistimewaan-keistimewaan. Mulai dari remisi, hingga ketika keluar penjara, ada masyarakat yang menyambutnya dengan penuh suka cita bak pahlawan. Bagaimana hal ini akan membuat jera koruptor? Yang terjadi malah ‘menyuburkan’ koruptor.
Tak berlebihan bila kemudian koruptor di negeri ini, seolah patah satu tumbuh seribu. Naudzubillah!
Untuk itu, marilah kita sebagai bagian dari bangsa ini sadar, bahwa jabatan hanyalah sebuah titipan.
Begitu pun harta benda yang kita miliki, juga titipan, karena tidak akan di bawa mati. Pada akhirnya, kenikmatan yang kita ‘kecap’, bila tak mampu menjaganya dengan baik, juga malah akan 'mengotori' diri kita. Menghinakan kita sendiri. Karena itu, jadilah manusia yang merasa cukup. Apa yang sudah ada dinikmati dengan senang hati, semoga indah pada akhinya. (*tribun jateng cetak)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.