Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Video

Video Jelang Putusan MKMK Soal Kode Etik Hakim Konstitusi, Arif Sahudi: Posisi Saya Pasif

Kuasa Hukum Mahasiswa UNSA yang mengajukan permohonan terkait syarat capres-cawapres di MK, Arif Sahudi buka suara soal sidang MKMK.

Penulis: Muhammad Sholekan | Editor: Tim Video Editor

Berikut ini video jelang putusan MKMK soal kode etik hakim konstitusi, Arif Sahudi: posisi saya pasif.

TRIBUNJATENG.COM, SOLO - Kuasa Hukum Mahasiswa UNSA yang mengajukan permohonan terkait syarat capres-cawapres di MK, Arif Sahudi buka suara terkait adanya sidang yang digelar Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas putusan yang dia menangkan.

Menurutnya, posisi dia sebagai pemohon bersifat pasif. Hal itu lantaran posisinya hanya mengajukan permohonan, dilaksanakan sidang sesuai prosedur, dan sudah diputus oleh majelis hakim konstitusi.

"Posisi saya sebagai pemohon ini posisi yang pasif sifatnya. Kenapa saya katakan pasif, karena posisi saya yang mengajukan, sudah sesuai prosedur, dan diputus," ucap Arif kepada awak media, Senin (6/11/2023).

Menurutnya, terkait pelanggaran kode etik yang saat ini disidangkan oleh MKMK, yakni agenda sidang terkait perilaku hakim, bukan terkait sidang soal putusan.

"Masalah pelanggaran kode etik kan itu masalah perilaku hakim, bukan soal ujian atas putusan. Sehingga, bagi kami sesuai dengan mekanisme yang ada, kemungkinan putusannya (MKMK) bukan terkait putusan," ungkapnya.

Dia menuturkan, putusan terkait perilaku hakim, biasanya, nanti sanksi akan berbentuk lisan, teguran, dan mungkin sampai pemecatan.

"Kan gitu aja (tidak terkait putusan)," jelasnya.

Ihwal pengaruh putusan MKMK terhadap putusan, Arif menilai, dilihat dari pengalaman yang sudah ada, dia mencontohkan sepertinya kasus mantan hakim MK, Akil Mochtar.

"Kalau dari pengalaman-pengalaman, kasus Akil Mochtar itu, itu bahkan pidana. Kan putusan kode etik sama pidana lebih tinggi pidana, ndak mempengaruhi (putusan)," jelasnya.

Arif mencontohkan, kasus lain, yakni Patrialis Akbar, sama halnya, tidak mempengaruhi sebuah putusan yang sudah dikeluarkan oleh MK.

"Artinya apa? Memang namanya kode etik kok, itu bukan untuk menguji putusan, tapi untuk menguji perilaku ini sesuai etika atau ndak? Kalau dari tataran normatif (soal membatalkan putusan) saya kira ndak. Tapi kalau tatarannya legitimasi, bisa jadi ya? legitimasi atas putusan itu," ucapnya.

Menurutnya, sebuah putusan, kalau sudah diputus, harus dianggap benar dan harus dilaksanakan.

"Namanya putusan sudah diputus ya dianggap benar dan harus dilaksanakan, asasnya begitu," tandasnya.

Diketahui, MKMK bakal mengumumkan hasil pemeriksaan terhadap sembilan majelis Mahkamah Konstitusi terkait dugaan pelanggaran etik usai memutuskan gugatan syarat usia capres-cawapres.

Mantan Ketua MK yang juga saat ini sebagai Ketua MKMK, Prof Jimly Asshiddiqie mengatakan pengumuman putusan bakal dibacakan setidaknya pada Selasa (7/11/2023). (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved