Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Pakar UGM Ungkap Potensi Perubahan Pilihan Pemilih dan Efek Jokowi pada Elektabilitas Prabowo-Gibran

Dalam menghadapi Pilpres 2024, sebanyak 20–30 persen pemilih menunjukkan potensi perubahan sikap politik mereka, kata Arya Budi, pakar politik UGM.

Istimewa
Ketua Umum NETFID Indonesia Muhammad Afit Khomsani mengatakan, debat perdana dengan agenda hukum dan HAM semalam jauh dari kata komprehensif. Para paslon tidak mengungkapkan praktek-praktek pelanggaran Hukum dan HAM sudah banyak terjadi. 

TRIBUNJATENG.COM, YOGYAKARTA - Arya Budi, seorang ahli politik dari UGM, mengungkapkan bahwa berdasarkan beberapa survei, 20–30 persen pemilih menyatakan potensi perubahan pilihan politik mereka pada Pilpres 2024 mendatang.

Menurut Arya, angka yang signifikan ini dapat dipengaruhi oleh jalannya debat dan kampanye yang masih berlangsung selama sekitar 3 minggu ke depan hingga hari tenang.

Menurut Arya, kedua instrumen tersebut dapat mempengaruhi sekitar 20 hingga 30 persen pemilih yang berubah sikap, baik melalui kampanye darat maupun udara.

"Dengan menggunakan instrumen-instrumen tersebut, setiap tim memiliki potensi untuk memengaruhi sekitar 20 hingga 30 persen pemilih yang berubah sikap," kata Arya, seorang Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM.

Arya menyampaikan bahwa jumlah pemilih yang dapat berubah sikap (swing voters) cukup signifikan, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam menentukan strategi untuk satu atau dua putaran dalam Pilpres ini.

"Istilahnya, kecuali jika pada bulan Januari misalnya Prabowo sudah mencapai 50 persen. Kemudian, pada bulan Februari sudah mencapai 50 persen, tentu kemungkinan adanya satu putaran semakin besar," kata Arya.

Namun, menurut Arya, hasil survei menunjukkan bahwa dukungan untuk Prabowo saat ini cenderung stabil.

"Tidak dapat dikatakan stagnan, di mana basis pemilih Jokowi sepertinya sudah mendekati titik maksimal," ungkap Arya.

Arya juga mengamati adanya pergeseran dari pemilih Anies Baswedan yang kini mendukung Prabowo untuk menggantikan sebagian pemilih yang tidak puas atau tidak setuju dengan Jokowi.

Selain itu, mantan pemilih Prabowo yang sebagian besar terkait dengan asosiasi keagamaan atau identitas sosial tertentu menjadi variabel penting dalam dinamika pemilih.

"Sehingga, ketika kita analisis hasil survei Anies yang awalnya berada di peringkat ketiga, sekarang sudah berpindah ke peringkat kedua dengan persentase di atas 20 persen," ujar Arya.

Pertanyaan muncul menurut Arya jika Pilpres membutuhkan dua putaran, siapa yang akan lolos? Menurutnya, per Januari, kemungkinan besar Prabowo sudah mendapatkan tiket, karena tetap stabil di atas 40 persen.

"Permasalahannya sekarang antara Ganjar dan Anies, kemungkinan besar lebih condong ke Anies-Muhaimin, sementara Ganjar-Mahfud agak mengecil pada bulan Januari. Kita tidak tahu, apakah dalam satu bulan terakhir ada penetrasi performa kampanye atau debat yang menjadi insentif bagi kedua kandidat ini," kata Arya.

Efek Jokowi Dinilai Sudah Mentok

Sementara itu, Arya menilai efek Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap elektabilitas pasangan calon nomor urut 02 yakni Prabowo-Gibran sudah mencapai puncak. Hal ini terlihat dari elektabilitas pasangan calon nomor 02 yang tidak melebihi 50 persen.

"Jadi sebenarnya, efek Jokowi terhadap Prabowo sudah menunjukkan puncaknya," ujar Arya Budi.

Arya menilai bahwa Prabowo sudah memanfaatkan citra Jokowi, di mana Prabowo seringkali menyentuh isu-isu yang berkaitan dengan Jokowi dan memposisikan dirinya sebagai penerus representasi Jokowi. Terlebih lagi, Prabowo berpasangan dengan Gibran, anak pertama Jokowi.

"Nah, ekspektasinya adalah efek dari Jokowi itu beralih atau tercermin secara dominan pada Prabowo, sementara dalam beberapa survei termasuk Poltracking, elektabilitas Prabowo praktis tidak pernah mencapai 50 persen. Meskipun ada kenaikan, terutama sebelum berpasangan," ujar Arya, yang juga merupakan Peneliti Poltracking Indonesia.

Arya menyebutkan bahwa elektabilitas Prabowo mengalami peningkatan setelah bulan Oktober 2023, terutama setelah munculnya nama calon wakil presiden. Namun, setelah bulan Oktober, angkanya tidak terus-menerus naik.

"Pertumbuhannya berhenti di angka sekitar rentang 44 persen hingga maksimal 46 persen, meskipun ada beberapa survei yang menyebutkan 48 persen, namun tidak signifikan," ujar Arya.

Arya menegaskan bahwa perpindahan pemilih Jokowi ke Prabowo sudah mencapai batas maksimal.

"Angka tersebut tidak cukup meningkat, meskipun hasil survei Poltracking juga menunjukkan bahwa Prabowo hampir pasti lolos pada 14 Februari," kata Arya.

Meskipun demikian, Arya mengatakan bahwa apakah Pilpres akan berlangsung dalam satu putaran atau dua putaran masih belum dapat dipastikan.

"Tapi kita harus berhati-hati dalam mengatakan itu, apakah itu putaran pertama atau putaran kedua," kata Arya.

Menurut Arya, pemilih Jokowi memiliki peran penting, karena mantan Gubernur DKI Jakarta dan Walikota Solo itu sudah memiliki basis pemilih sejak 2014 dengan angka 55 persen.

"Kedua, kinerja Jokowi masih dianggap baik, dengan persentase di atas 70 hingga 75 persen, bahkan mendekati 80 persen menurut berbagai survei," kata Arya.

Pemilih yang merasa puas dengan Jokowi, secara teoritis, cenderung memilih calon presiden yang dianggap mampu melanjutkan pemerintahan Jokowi.

"Nah, permasalahannya kembali pada calon presiden yang saat ini dianggap secara eksplisit melanjutkan Jokowi, yaitu Prabowo, karena Ganjar-Mahfud terkadang tidak cukup eksplisit dalam melanjutkan pemerintahan Jokowi, bahkan sempat mengkritik tentang hukum dan sebagainya," pungkasnya.

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved