Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak Lahap Ribuan Hektare Hutan Mangrove

etani Mangrove Semarang, Isnaini hanya bisa geleng-geleng kepala kala hutan mangrove di Kawasan Trimulyo mulai gundul.

|
Penulis: iwan Arifianto | Editor: Daniel Ari Purnomo

Alih-alih melakukan konservasi, terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2022 terkait Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Kawasan Perkotaan Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, dan Purwodadi (Kedungsepur), yang mengatur rencana tata ruang Kawasan Strategis Nasional (KSN) dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi.

Pakar mangrove dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Diponegoro, Rudhi Pribadi mengatakan, adanya Perpres tersebut semakin mengancam eksistensi hutan mangrove di kawasan pesisir Pantura Jawa Tengah. 

Ia sudah mulai khawatir terhadap eksistensi hutan mangrove di pesisir Semarang dan sekitarnya ketika proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) sudah mulai dikerjakan.

Terlebih, jalan tol yang didesain sekaligus untuk bendungan itu akan merusak kawasan magrove di sisi barat Kota Semarang seperti di Tapak dan Mangunharjo. 

Secara umum pembuatan bangunan ke arah laut itu akan berdampak ke sisi kiri dan kanannya.

Dasar ilmu tersebut sudah dipaparkan di buku "Teknik Pantai" karya Bambang Triatmodjo dari UGM. 

Bambang menulis bahwa membangun satu bangunan sejauh satu kilometer ke arah laut berdampak sejauh tujuh kilometer ke kiri dan kanan bangunan tersebut baik dari sedimentasi, abrasi dan lainnya.

"Tinggal arah arusnya dari mana. Ini pun sempat mencuat bangunan tol bakal mengubah pola arus," terang Rudhi.

Kekhawatiran Rudhi bertambah ketika melihat masih tidak sinkronnya stakeholder pemerintah dalam menyikapi hal itu. Pemerintah, menurut dia, harus bertindak sebagai satu kesatuan dalam penanganan konservasi di pesisir. Perlu ada  Integrated Coastal Manajemen (ICM) atau pengelolaan pesisir yang terintegrasi.

"Sayangnya, hal itu belum banyak diaplikasikan dengan baik di sini. Jadinya sepertinya jalan sendiri-sendiri. Kelihatan yang mau membangun, membangun, konservasi ya konservasi," keluh Rudhi.

Sementara, Pakar Lingkungan dan Tata Kota Semarang, Mila Karmila, mempertanyakan  tidak sinkronnya aturan yang dibuat oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam menjalankan proyek tersebut. Contohnya, antara Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 24 tahun 2019 dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2022 terkait Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Kawasan  Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, dan Purwodadi (Kedungsepur).

Di satu sisi, Pemerintah Provinsi Jateng "macak" bakal melakukan konservasi mangrove yang alami kerusakan. Di sisi lain, pemerintah pusat malah memproyeksikan kawasan tersebut untuk beragam PSN, yang otomatis mengancam ekosistem pesisir.

Pemerintah pusat, lanjut Mila, memiliki angan-angan yang begitu besar tanpa melihat daya dukung dan daya tampung kawasan pesisir. 

"Sepatutnya ketika hendak membuat kawasan industri di pesisir hendaknya melihat daya dukung apakah mencukupi atau sebaliknya. Di antaranya terkait kebutuhan pasokan air," kata Mila.

Padahal penurunan muka tanah di kota Semarang dan Demak begitu mengerikan. Di Sayung, Demak, tercatat permukaan tanah turun antara 0,56 cm hingga 11,5 cm per tahun. Kota Semarang tak kalah parah di angka 8-11 cm per tahun. Tak hanya itu, tanah daratan Semarang sudah di bawah muka air laut sekitar 4 cm.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved