Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Ramadan

Pesona Kafe Gethe di Kampung Sekayu Semarang, Jadi Andalan Warga Ngabuburit hingga Telusuri Sejarah

Pesona Kafe Gethe Semarang menjadi andalan sebagian warga untuk ngabuburit hingga menelusuri sejarah.

Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG/Idayatul Rohmah
Suasana Masjid Sekayu Semarang, Rabu (20/3/2024). 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Pesona Kafe Gethe Semarang menjadi andalan sebagian warga untuk ngabuburit hingga menelusuri sejarah.

Kafe Gethe yang terletak di jalan Sekayu Semarang menyimpan histori perkampungan itu, yang berada di tengah-tengah pesatnya pertumbuhan perdagangan dan jasa Kota Semarang.

Sejak sore hari, pengunjung berdatangan ke kafe yang belum sampai seminggu berpindah, Rabu (20/3/2023).

Sembari memesan kuliner untuk berbuka puasa, sebagian pengunjung juga melihat-lihat mulai foto-foto lama menggantung di tembok hingga miniatur Masjid Taqwa Sekayu, yang mengantarkan mereka menelusuri sejarah perkampungan tersebut.


“ Saya sebagai warga yang bukan asli Semarang jadi tahu sejarah Semarang. Terutama di kawasan ini, ternyata dulu jadi pusat pemerintahan,” kata Najib (25), warga Klaten di sela melihat foto-foto di kafe tersebut.


Menurut pria yang baru lima tahun berdomisili di Semarang itu, ia sendiri beberapa kali sempat datang ke Kampung Sekayu karena ketertarikannya untuk belajar sejarah Kota Semarang. “Apalagi di sini juga pernah lahir seorang sastrawan terkemuka NH Dini, saya ingin belajar dari sini, kan juga banyak buku-buku beliau yang dipajang di sini,” ungkapnya.


Lain halnya Najib, Riska (30) datang untuk berbuka puasa bersama kakak dan ibunya. Menurutnya selain kuliner, suasana kafe tersebut juga menjadi daya tarik bagi dirinya untuk kembali datang. Keramahan antar pemilik kafe dan tamu membuatnya mantap mengajak keluarga untuk berbuka puasa bersama.


“Saya beberapa kali ke sini, sebulan ada satu sampai dua kali. Kebetulan pertama saya suka makanannya. Kemudian vibes-nya sih, seperti jajan di rumah sendiri. Jadi tidak kaku antara pelanggan dan penjual,” ungkap Riska.


Pemilik Kafe Gethe, Ari Purbono mengatakan, kedai ini memang digagas sebagai ajang silaturrahmi dan edukasi sejarah bagi masyarakat terutama anak muda.


Menurutnya, keramahan menjadi modal awal untuk memperkenalkan sejarah Sekayu kepada masyarakat.


"Ide membuat kedai ini, tahun 2021. Awalnya kami menyadari ada potensi di mana kampung ini adalah kampung tua, berada di tengah-tengah pesatnya pertumbuhan perdagangan dan jasa Kota Semarang. Kami tergelitik bagaimana untuk kenalkan ke anak muda.


Ini semuanya kami ingin di tempat ini jadi ajang silaturrahmi. Anak muda yang tadinya tidak kenal sejarah, jadi cinta sejarah.


Konsepnya memang Semarangan banget. Seringnya anak muda bilang homey, kayak di rumah. Memang ini rumah," ungkapnya.


"Kami inginnya yang datang ke sini tidak sekadar makan dan minum, yang berjodoh juga banyak, baik saya yang menjodohkan atau tidak sengaja," tambahnya.


Menelusuri sejarah Sekayu di Kafe Gethe, di antaranya juga disajikan melalui kuliner penuh filosofi. Berbagai menu disebutkan memiliki makna seperti minuman lawang sewu, di mana ikon Kota Semarang Lawang Sewu berasa di Kelurahan Sekayu sekayu.


"Ada juga makan besar kami beri nama Kepatihan dan Temenggungan, ini nama kampung di Semarang yang memiliki sejarah. Kemudian juga ada Kampung Basan, itu tahun 1987 sudah hilang.


Lainnya, ada pangsit cagak gendero. Di belakang Mal Paragon itu ada cagak gendero untuk mengingatkan pertempuran 5 hari Semarang," ungkapnya.


Mengingatkan sejarah lagi, di Cafe Gethe terdapat lembaran berisi sejarah Masjid Sekayu. Konon masjid itu merupakan masjid tertua di Jawa Tengah, didirikan pada tahun 1413 atau lebih tua 7 tahun dari Masjid Agung Demak.


Hanya beberapa langkah dari Kafe Gethe, Masjid Sekayu tampak berdiri kokoh di antara himpitan rumah warga. Masjid bercat putih itu bisa diakses warga dengan memasuki gang bertuliskan "MASJID SEKAYU 1413".


Ketua Takmir Masjid Taqwa Sekayu Kurnia Fachrurrozy menyebutkan bahwa berdasarkan dokumen dari Dinas Purbakala Pusat di Jakarta, masjid yang kini bernama Masjid Taqwa Sekayu tersebut dulu bernama Masjid Pekayuan.


Masjid tersebut pertama kali didirikan dengan bahan kayu, beratap rumbia, tiang dari bambu, dan lantai tanah murni. Selang waktu, masjid Taqwa Sekayu dilakukan renovasi dan pemugaran.


Fachrurrozy menyebutkan ada tokoh penting dibalik berdirinya Masjid Taqwa Sekayu, Kiai Kamal.


Dalam hikayat itu, disebutkan bahwa Kiai Kamal adalah seorang murid dari Sunan Gunung Jati. Kala itu Kiai Kamal diperintahkan untuk masuk ke wilayah Sekayu mengembangkan agama islam.


Kiai Kamal datang di Pekayuan untuk menyiapkan kayu-kayu sebagai material bangunan masjid Demak. Sedangkan untuk keperluan ibadah selama berdomisili di Pekayuan, Kyai Kamal membangunkan tempat beribadah yaitu masjid tersebut.


"Sejarahnya itu berawal dari Mbah Kiai Kamal yang saat itu diberikan perintah oleh gurunya untuk masuk ke Sekayu mengembangkan agama Islam," sebutnya.


Ia memaparkan, Masjid Taqwa Sekayu ini erat kaitannya dengan Masjid Agung Demak, di mana sebagian kayu untuk membangun Masjid Agung Demak berasal dari Sekayu. Usianya yang sudah ratusan tahun, membuat bangunan ini menjadi cagar budaya dan banyak dikaji peneliti baik dalam negeri maupun luar negeri.


Pengurus Masjid Sekayu sendiri sampai saat ini masih mempertahankan isi bangunan, meski beberapa kali dilakukan pemugaran.


"Ada empat yang masih digunakan di Masjid Taqwa Sekayu. Mustaka masjid (kubah), soko empat (tiang besar berjumlah empat), pintu tiga (pintu masuk masjid) juga masih pakai yang dulu, dan sumur yang masih digunakan sampai sekarang,” sebutnya.


Salat Tarawih Dua Sesi Saat Ramadan


Bulan Ramadan yang berlangsung ini, ada rutinitas berbeda di Masjid Taqwa Sekayu, di mana salat tarawih digelar menjadi dua sesi dalam waktu yang bersamaan.


Menurut Fachrurrozy, rutinitas tarawih ini sudah berlangsung lama di mana takmir masjid memberikan kebebasan bagi masyarakat yang ingin melaksanakan salat tarawih 20 rakaat ditambah witir 3 rakaat maupun tarawih 8 rakaat dan witir 3 rakaat.


Menurutnya warga sangat guyub, di mana perbedaan aliran tidak menjadi alasan untuk memecah belah kerukunan masyarakat.

 

“Tarawih masih sama, intinya 20 rakaat ditambah witir tiga rakat dengan pelaksanaan 8 rakaat dulu lalu diselipi kultum dan witir. Kemudian lanjut tarawih lagi dan witir (bagi yang menunaikan),” jelasnya.


Seperti masjid pada umumnya, seusai tarawih, warga melaksanakan tadarus bersama dengan pemisahan ruang antara laki-laki dan perempuan.


Biasanya, kata dia, selama ramadan akan khatam dua kali di mana perempuan dan laki-laki menggelar khataman berbeda.


Adapun selain rutinitas itu, pada ramadan kali ini disebutkan ada perbedaan dibandingkan biasanya. Ia menyebutkan, ramadan kali ini setiap sore hari digelar bazaar takjil oleh UMKM warga sekitar di sekitar masjid, mulai 16.30 sampai memasuki waktu maghrib.


"Ini kami gelar untuk meramaikan masjid. Ramadan ini bagaimana cara kita nguri-nguri masjid. Menjadikan masjid ramai. perdana tahun ini ada bazar takjil sore menjelang berbuka," ungkapnya.


Sementara itu, perkampungan Sekayu Semarang tampak hidup dengan berbagai aktivitas padat penduduk.


Sejumlah pendatang baik warga sekitar maupun pelancong melintasi kawasan itu dan sebagian singgah ke lokasi sarat sejarah yang dituju.


Tak jarang, pendatang juga mampir melihat dan berfotoria ke seberang bekas Kafe Gethe lama, yang terdapat relief sejarah Sekayu.


"Relief ini hasil karya seniman sekayu dibantu pemahat dari Borobudur dan batunya dari Borobudur. Itu bantuan APBD Kota Semarang," imbuh Ari.

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved