Berita Jakarta
Makin Banyaknya Beban Kelas Menengah Potensial Tekan Perekonomian
Beban masyarakat kelas menengah semakin banyak imbas kenaikan harga pangan yang masih cukup tinggi, namun tidak diimbangi
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA -- Beban masyarakat kelas menengah semakin banyak imbas kenaikan harga pangan yang masih cukup tinggi, namun tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan.
Hal itupun bisa menyebabkan masyarakat, khususnya kelas menengah rentan jatuh ke jurang kemiskinan, sehingga berdampak nuruk terhadap perekonomian.
Berbanding dengan masyarakat kelas bawah, masyarakat kelas menengah minim mendapatkan sentuhan fiskal dari pemerintah, lantaran dianggap mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Ujungnya, tabungan mereka makin menipis untuk memenuhi kebutuhan harian yang tak terduga.
Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Wahyu Utomo menyampaikan, pemerintah sebenarnya sudah membuat kebijakan fiskal untuk masyarakat kelas menengah.
Di antaranya pemberdayaan UMKM melalui kredit usaha rakyat (KUR), insentif perumahan seharga hingga Rp 5 miliar melalui pemberian pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP). “Serta dukungan fiskal untuk mobil listrik melalui PPN DTP, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM),” katanya, kepada Kontan, Minggu (28/7).
Meski demikian, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, insentif dan program yang diberikan pemerintah untuk kelas menengah tersebut belum cukup.
Sebab, ia menyebut, masalah yang dialami kelas menengah saat ini yakni kenaikan harga pangan secara tahunan masih cukup tinggi. Selain itu, terdapat tekanan pada berbagai biaya bahan baku industri akibat pelemahan nilai tukar rupiah, yang menyebabkan meningkatnya harga produk industri.
“Pemberdayaan UMKM lewat KUR misalnya, perlu didorong lebih besar ke sektor produktif dengan plafon yang lebih besar. Perluasan bantuan sosial juga mendesak ke kelompok menengah rentan, bukan sekedar orang miskin,” ucapnya.
Bhima mencatat, sebanyak 40 persen masyarakat kelas menengah pada Maret 2024 memiliki kontribusi 37 persen terhadap konsumsi nasional. Sehingga, hidup matinya sepertiga ekonomi bergantung di kelas menengah.
Dengan tekanan yang terus berlanjut, ia khawatir pertumbuhan konsumsi rumah tangga melemah hanya sebesar 4,2-4,7 persen pada 2024, dan hanya sebesar 4,6 persen di 2025.
Untuk diketahui, pada 2023 proporsi kelas menengah pada struktur penduduk Indonesia tercatat sebesar 17,44 persen, turun 4 persen dibandingkan dengan level pra-pandemic, yakni mencapai 21,45 persen pada 2019.
Perhatian serius
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto menyampaikan, penurunan jumlah kelas menengah itu perlu menjadi perhatian serius pemerintah. Hal itu karena peranan kelas menengah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sangat penting.
“Kelas menengah merupakan target utama pasar barang dan jasa. Jika jumlah mereka turun, maka risiko perlambatan ekonomi tidak terhindarkan,” jelasnya.
Ia menilai, upaya yang diperlukan mengurangi kebijakan yang berujung pada tergerusnya daya beli kelas menengah, utamanya menengah rentan.
Seusai Bupati Pati Sudewo Diperiksa KPK Terkait Suap Proyek Rel Kereta, Ini Fakta Terbarunya |
![]() |
---|
IHSG Hari Ini Naik ke 7.936,17, Saham PGEO dan MBMA Jadi Pendorong Utama |
![]() |
---|
Alasan PDIP Copot Bambang Pacul dari Ketua DPD Jawa Tengah, Ini Penjelasannya |
![]() |
---|
IHSG Hari Ini Ditutup Melemah, Apa Penyebabnya? |
![]() |
---|
Bahaya Asbes di Indonesia: Sengketa Hukum, Korban, dan Desakan Pelarangan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.