Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Jakarta

Kenaikan PPN Jadi 12 Persen bakal Hantam Industri Ritel, Roy Sebut Hambat Pemulihan Daya Beli

Kebijakan pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen dari saat ini 11 persen yang mulai berlaku 1 Januari

istimewa/kompas.com
ilustrasi pajak 

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen dari saat ini 11 persen yang mulai berlaku 1 Januari 2024 diperkirakan bakal menghantam industri ritel.

Hal itu diungkapkan mantan Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo. Ia mengaku, pernah secara langsung berdiskusi dengan para pengurus di asosiasi ritel, di mana hampir semua khawatir dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen.

Menurut dia, pengusaha ritel khawatir penetapan PPN 12 persen di tengah konsumsi yang menurun akan membuat industri ritel ambruk, imbas masyarakat menahan belanjanya.

“Di tengah penurunan daya beli masyarakat, kebijakan ini berpotensi menghantam dua sisi sekaligus, yakni permintaan dan penawaran,” katanya, dalam cuitan di X pribadinya, @prastow, Sabtu (16/11).

Yustinus menuturkan, apabila dampak kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen menyebabkan kelesuan ekonomi dan menuntut alokasi perlindungan sosial dan insentif bagi pelaku usaha yang lebih besar, pemerintah bisa mempertimbangkan untuk menunda kebijakan itu. “Menimbang ulang dan menunda kenaikan tarif bisa menjadi pilihan yang bijak dan baik,” ujarnya.

Senada, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta pemerintah menunda rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen yang direncanakan mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Eks Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey menyatakan, kebijakan itu dapat menghambat pemulihan daya beli masyarakat yang baru mulai membaik setelah 5 bulan berturut-turut mengalami deflasi.

“Iya dong, kami tidak setuju penerapan PPN 12 persen. Baru saja kita deflasi, dan mau kembali pulih. Jangan, PPN itu harus ditangguhkan,” ujarnya, baru-baru ini.

Ia menyebut, kenaikan PPN di tengah momentum pemulihan ekonomi akan semakin menekan daya beli masyarakat. "Minimal daya beli harus kembali dulu, setidaknya selama 1 tahun, atau kalau bisa 2 tahun," ucapnya.

Menurut dia, pengusaha ritel memiliki harapan besar terhadap perbaikan ekonomi di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. Namun, jika kebijakan kenaikan PPN tetap dilakukan, hal itu dikhawatirkan akan mengurangi ekspansi yang telah direncanakan pelaku usaha ritel.

“PPN dari 11 persen menjadi 12 persen itu harus ditangguhkan. Kami berharap pemerintah dapat memahami tantangan ini agar konsumsi masyarakat tidak terganggu,” tandasnya.

Deflasi

Roy mengungkapkan, puncak produktivitas industri ritel nasional biasanya terjadi pada momen Ramadan, Idulfitri, dan Natal-tahun baru. Namun, tantangan ekonomi yang terjadi pada 2024, termasuk tren deflasi, telah menahan laju pertumbuhan sektor ritel.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), deflasi selama 5 bulan berturut-turut pada Mei-September 2024 mengakibatkan penurunan permintaan domestik dan melambatnya konsumsi rumah tangga. Baru pada Oktober 2024, inflasi tercatat kembali terjadi, menandakan permintaan mulai pulih.

Namun, dampak deflasi yang panjang membuat pertumbuhan sektor ritel pada 2024 diperkirakan turun menjadi 4,8 persen dibandingkan dengan 5,3 persen pada 2023.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved