UIN SAIZU Purwokerto
Imlek dan Islam: Menjembatani Tradisi Tionghoa dengan Keindonesiaan
Perayaan Imlek merupakan tradisi tahunan yang dirayakan oleh komunitas Tionghoa, telah berkembang menjadi bagian penting dalam budaya Indonesia
Salah satu tokoh penting dalam sejarah ini adalah Laksamana Cheng Ho, yang menjadi simbol hubungan erat antara Tionghoa dan Islam di Asia Tenggara.
Cheng Ho, yang merupakan seorang Muslim, memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di kawasan ini, termasuk di Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan agama, hubungan antara Tionghoa dan Islam di Indonesia selalu didasari oleh nilai-nilai toleransi dan saling menghormati.
Cheng Ho, yang berasal dari keluarga Muslim terkemuka di Yunnan, China, dikenal tidak hanya sebagai pelaut, tetapi juga sebagai seorang yang mempromosikan perdamaian dan toleransi.
Dalam pelayarannya ke berbagai wilayah di Asia Tenggara, Cheng Ho tidak hanya mendirikan masjid dan membangun hubungan dengan komunitas Muslim, tetapi juga terlibat dalam renovasi kelenteng dan pagoda, menunjukkan bahwa ia menghormati berbagai tradisi, termasuk yang bukan milik agama Islam.
Keunikan Cheng Ho terletak pada kemampuannya untuk merangkul keberagaman tanpa kehilangan identitas agamanya sebagai seorang Muslim.
Sebagai seorang Muslim yang taat, Cheng Ho dikenal memiliki obsesi untuk melakukan perjalanan ke Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji, namun sayangnya, perjalanan tersebut tidak pernah terwujud.
Meskipun demikian, warisan Cheng Ho tetap hidup di banyak kota di Asia Tenggara, di mana ia dihormati baik oleh komunitas Muslim maupun non-Muslim.
Di Indonesia, nama Cheng Ho bahkan diabadikan dalam beberapa masjid dan kelenteng sebagai simbol penghubung antara kedua kelompok agama ini.
Di beberapa kota seperti Surabaya dan Semarang, masjid yang diberi nama Masjid Muhammad Cheng Ho menjadi tempat berkumpul bagi komunitas Muslim Tionghoa, sementara kelenteng yang menggunakan nama Sam Po Kong tetap menjadi tempat bagi mereka yang non-Muslim.
Fenomena Cheng Ho ini menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan agama yang mendalam, tokoh seperti Cheng Ho mampu menghubungkan dua dunia yang berbeda, yaitu Islam dan budaya Tionghoa.
Hal ini mencerminkan bahwa keberagaman dalam keyakinan agama tidak harus menjadi penghalang bagi kehidupan bersama yang harmonis. Cheng Ho adalah contoh nyata bahwa toleransi dan saling menghormati adalah kunci dalam menjalin hubungan antaragama dan budaya.
Selain itu, perayaan Imlek dalam konteks Tionghoa Muslim juga menunjukkan pentingnya nilai toleransi dan persaudaraan. Imlek, yang pada dasarnya merupakan tradisi budaya, tidaklah terkait dengan ajaran agama tertentu.
Oleh karena itu, selama tradisi tersebut tidak melibatkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, perayaan ini dapat diterima dalam konteks agama.
Bahkan, perayaan Imlek dapat menjadi ajang untuk mempererat hubungan antarumat beragama, di mana komunitas Tionghoa Muslim mengajak sesama Muslim untuk merayakan tradisi tersebut dengan penuh rasa syukur kepada Allah.
| 2 Dosen UIN Saizu Jadi Presenter di AICIS+ 2025, Angkat Isu Energi Terbarukan Berbasis Nilai Qur’ani |
|
|---|
| Pesantren Hijau: Membumikan Ekoteologi dalam Budaya Santri |
|
|---|
| Mahasiswi Pascasarjana UIN Saizu Torehkan Prestasi Internasional di AICIS+ 2025 |
|
|---|
| Rektor UIN Saizu Jadi Pembahas pada Sesi Paralel AICIS 2025: Bahas Hukum Islam dan Isu Gender |
|
|---|
| Rakor Humas PTKIN 2025 Digelar di Tengah AICIS: Momentum Penguatan Citra Kampus Islam |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.