Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Grobogan

Suka Duka Samsuri Pengrajin Koper di Grobogan, Ditipu Pembeli hingga Banjir Order dari Biro Haji

Samsuri (33) pembuat koper dan tas tampak sibuk di rumahnya di Dusun Juragan, Desa Watupawon, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan. 

(TRIBUNJATENG/FACHRI) 
PENGRAJIN KOPER DI GROBOGAN: Samsuri sukses menggeluti usaha pembuatan koper dan tas untuk kebutuhan haji dan umrah. Pria berusia 33 tahun asal Dusun Juragan, Desa Watupawon, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan, bisa meraup laba jutaan rupiah tiap bulannya. 

TRIBUNJATENG.COM, GROBOGAN – Samsuri (33) pembuat koper dan tas tampak sibuk di rumahnya di Dusun Juragan, Desa Watupawon, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan

Di sekelilingnya, puluhan koper dan tas berlabel biro haji dan umrah tertata rapi di antara alat jahit dan bahan produksi yang sedikit berantakan, menandakan tingginya pesanan.

Samsuri bukan pengusaha besar, bukan pula pemilik pabrik raksasa. 

Namun dari rumah yang disulap menjadi bengkel kerja, ia merintis sukses sebagai perajin koper dan tas untuk jemaah haji dan umrah dari berbagai penjuru negeri.

"Saya menekuni bidang ini sejak 2015 berjalan sampai 2025 ini," kata Samsuri kepada TribunJateng.com, Selasa (15/4/2025). 

Berangkat dari Jakarta, Pulang Bawa Ilmu

Langkah Samsuri menjadi pengusaha tak lepas dari masa lalunya di Jakarta. 

Di kota itu, ia sempat bekerja di pabrik pembuatan koper. 

Dari sanalah ia menyerap keterampilan, lalu memutuskan pulang kampung dengan tekad menjadi wirausaha. 

"Sebelumnya pernah kerja membuat koper di Jakarta, lalu saya resign dan menekuni sendiri di rumah," ungkap Samsuri. 

Kini, keputusan itu terbukti tepat. Rumah Samsuri tak pernah sepi order, apalagi saat musim ziarah ke tanah suci tiba. 

Dalam sebulan, ia bisa memproduksi 100 hingga 150 koper, dengan harga jual antara Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu per unit. 

Keuntungan bersih dari tiap 50 koper bisa mencapai Rp 2 juta.

"Biasanya 100-150 koper tiap bulan, harganya tergantung paketannya, kurang lebih Rp 400 ribu sampai Rp 500 ribu, tergantung modelnya dan banyaknya jumlah pesanan," kata Samsuri. 

"Kalau untung tidak bisa diprediksi, kurang lebih Rp 2 juta tiap 50 koper bersih," imbuhnya. 

Tak Selalu Mulus: Ditipu hingga Rugi Puluhan Juta

Namun perjalanan Samsuri tentu tak selalu manis. Di balik keberhasilan, ada kisah pilu yang pernah ia alami.

“Cerita sedihnya kalau ada pemesan yang kabur, pernah rugi Rp 20 juta, senangnya pas banyak pesanan," kenangnya.

Meski demikian, Samsuri memilih tetap ikhlas dan menjadikan pengalaman itu sebagai pelajaran.

Perhatian dari Pemerintah Desa

Sementara itu, Ruhadi, Sekretaris Desa Watupawon, menyebut ada puluhan warganya yang menggeluti usaha pengrajin koper dan tas. 

Namun banyak di antaranya yang memilih mendirikan pabrik atau home industri di Jakarta. 

"Di Desa Watupawon banyak pengrajinnya, cuma domisilinya sebagian merantau di Jakarta, kalau di sini home industri sepuluh orang ada," kata Ruhadi saat ditemui TribunJateng.com di kantor desa. 

Selain Samsuri, Sekdes menyebut ada beberapa pengusaha koper dan tas yang sukses di Watupawon. 

"Sampai saat ini yang masih eksis dan dipercaya bekerjasama dengan perusahaan dan lembaga pemerintah itu ada tiga, yakni mas Tarsono, mas Suparmin dengan mas Samsuri," ungkapnya. 

Menurut Ruhadi, home industri pengrajin koper dan tas di desanya sangat membantu perekonomian warga. 

"Penjahitnya juga dari warga sini, kemarin banyak penjahit yang selama covid dari Jakarta pulang ke kampung dan menerima orderan dari ketiga orang tersebut."

"Adanya home industri pengrajin tas itu membantu perekonomian di desa kami, sebenarnya matapencaharian utama warga kami adalah petani, di sela-sela waktu bertani warga bisa menjahit tas, para penjahitnya sudah mahir, tas bentuk apapun bisa membuat karena sudah lama berkecimpung membuat tas di Jakarta," ungkapnya. 

Ruhadi dan Pemerintah Desa sebenarnya ingin mengembangkan potensi pembuatan koper dan tas warganya dengan memfasilitasi lewat BUMDes.

Namun warga ternyata bisa berjalan mandiri tanpa harus menunggu uluran tangan dari pemerintah. 

"Kami juga mengusulkan BUMDes pengrajin tas, bahkan kami sudah menganggarkan mesin jahit, namun warga tidak dibantu desa sudah bisa berjalan, akhirnya untuk BUMDes sekarang kita mencanangkan agrowisata," pungkasnya. (*) 

 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved