Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Bisnis

Kisah Perjalanan Mie Sundoro, Berangkat Dari Nama Kecil Sultan Yogyakarta Kini Bawa Resep Keluarga

Adi Setiawan saat memamerkan dua produk rasa mie Sundoro di Kecamatan Mijen, Kota Semarang.

Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: raka f pujangga
TRIBUNJATENG.COM/REZANDA AKBAR D
MIE JOGJA SUNDORO - Adi Setiawan saat memamerkan dua produk rasa mie Sundoro di rumah produksi Mie Sundoro di Ruko Jatisari Kecamatan Mijen Kota Semarang. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Adi Setiawan tidak pernah merencanakan menjadi produsen mie instan, dia dulunya seorang kontraktor, lebih akrab dengan alat berat ketimbang bumbu dapur. 

Tapi semua berubah ketika anak pertamanya, yang gemar memasak, mulai berjualan makanan kecil-kecilan.

“Kami ini keluarga pecinta bakmi, setiap kali keluar rumah atau jalan-jalan, ujung-ujungnya pasti cari bakmi dok-dok, kadang juga kami keluar khusus untuk mencari itu," kata Adi Setiawan ditemui ditempat produksinya di Ruko Jatisari, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, Jumat (18/4/2025).

Baca juga: Pelajar Batang Muntah-muntah Usai Santap MBG, Mie Bau Tetap Dipaksa Makan

Dari kegemaran dan tradisi keluarga itu, lahirlah ide membuka warung bakmi.

Resepnya berasal dari sang istri, perempuan asli Jogja, keturunan ketujuh dari garis keluarga Sri Sultan Hamengkubuwono II.

Nama usaha mereka pun tak jauh-jauh dari akar leluhur yakni Sundoro, atau nama kecil sang Sultan kedua Yogyakarta.

Warung pertama dibuka pada 2018.

Sambutan pasar ternyata di luar dugaan.

Dalam waktu singkat, mereka sudah menggelar enam gerobak di Semarang dan Salatiga. 

Namun, awal 2020 pandemi datang dan menyapu bersih pendapatan dari pinggir jalan.

Saat semua warung terpaksa tutup, Adi mengambil keputusan yang tak ringan dia meninggalkan dunia kontraktor dan memilih mendampingi istrinya penuh waktu untuk membesarkan usaha bakmi.

“Mau tak mau, kami harus memutar otak. Kalau cuma bertahan di pendapatan warung, ya habis. Harus ada bentuk lain dari bakmi ini,” ujarnya.

Dari situlah ide membuat bakmi instan lahir. Mie dok-dok, yang biasanya hanya terdengar lewat ketukan seonggok kayu pada gerobak di malam hari, kini bisa hadir dalam kemasan siap saji, tahan lama, dan bisa dikirim ke mana saja.

Jatuh Bangunnya Usaha Bakmi Sundoro

Jalan menuju ke sana tak mudah.

Adi jatuh bangun mencoba berbagai model kemasan. 

"Sudah lima kali ganti. Dari standing pouch dikasih stiker, aluminium foil, sampai akhirnya printing. Pernah juga jual satu standing pouch bisa untuk 5 porsi, saya waktu Car free Day di Simpang Lima, tapi enggak laku,” ceritanya sambil tertawa kecil.

Permodalan dia ambil dari hasil jualan bakmi sebelumnya. Lahirnya Mie Godhog Jogja dan Mie Goreng Jogja yang semulanya dari mie basah ke mie kering yang bisa bertahan hingga satu tahun.

Inovasi itu membuka peluang baru produk bisa masuk ke swalayan, dikirim ke luar pulau, bahkan luar negeri.

Saat ini, Mie Sundoro sudah tersebar ke berbagai kota di Indonesia khususnya di Jawa dan Kalimantan. 

Beberapa supermarket besar mulai melakukan pemesanan rutin.

Harga per bungkus sekitar Rp15 ribu, lengkap dengan bumbu dan bawang goreng.

Untuk menunjang penjualan, media sosial menjadi tumpuannya.

Perlu memproduksi konten baik foto atau videopun dengan hasil yang prima.

“Kalau foto dan videonya jelek, orang enggak tertarik beli. Makanya packaging itu penting,” tegas Adi. 

Dia belajar sendiri cara mengambil foto produk, mengatur pencahayaan, dan mengelola medsos.

Usahanya kini dibantu 15 orang lima di bagian produksi, tiga untuk rumah makan, sisanya menangani pemasaran di Jakarta, Jogja, Tegal, dan Pemalang dan daerah lainnya.

Melawan Gempuran Merek Raksasa

Di pasar mie instan Indonesia yang didominasi korporasi besar, Mie Sundoro hadir dengan pendekatan berbeda mengangkat rasa, dan cerita. 

Mie Jogja Sundoro kini telah memiliki pasarnya sendiri.

Untuk saat ini, Adi mengatakan dalam sehari setidaknya sekitar 50 karton dengan perkartonya 32 bungkus bisa terproduksi olehnya.

“Selama masih ada orang yang percaya pada cerita di balik rasa, saya yakin produk kami akan tetap hidup,” kata Adi.

Usaha ini bukan sekadar tentang menjual mie.

Tapi tentang bertahan.

Tentang menjahit ulang hidup yang sempat koyak di masa pandemi hingga menemukan bentuk baru dari sesuatu yang sudah akrab di lidah bakmi dok-dok, kini dalam bentuk instan.

Adi tahu dia tak bisa bersaing dari segi modal atau mesin.

Tapi dia punya hal yang tak bisa diproduksi massal niat, ketekunan, dan cerita yang dimasak dari rumah.

Konektivitas Rumah Kreatif BUMN BRI 

Meski skala bisnisnya belum sebesar pabrik-pabrik mie nasional, Adi sudah mulai menembus pasar luar negeri. 

Produk Mie Sundoro pernah dikirim ke Swiss, Australia, dan Singapura meskipun masih dalam jumlah kecil dan melalui reseller.

Produk ini bisa dicari diberbagai toko online, sedangkan untuk toko offline yakni di swalayan moderen kota Semarang dan Uptown Mall BSB Semarang.

Sejak 2019, Adi juga aktif di Rumah Kreatif BUMN Bank Rakyat Indonesia. Dalam komunitas tersebut, Adi tak menampik bahwa sering mendapatkan ilmu untuk mengembangkan usahanya.

Terkait informasi mesin-mesin yang digunakan para pelaku UMKM lainnya untuk mempercepat produksi, ataupun ukuran porsi dari produk agar lebih menunjang hingga informasi cara pengurusan beragam perizinan dan sertifikat.

Dia tak hanya belajar, tapi juga berbagi, dia sering mengisi pelatihan untuk UMKM yang tergabung dalam Rumah Kreatif BUMN mulai dari distribusi, pemasaran, pengelolaan sosial media, hingga pembukuan. Dia tahu betul, membangun usaha itu tidak cukup dengan punya produk.

Selain itu, beragam fasilitas seperti pameran dan bazar yang diadakan oleh BRI melalui rumah kreatif BUMN menjadi suatu hal yang bermanfaat bagi pelaku UMKM untuknya.

Dari situ bisa menjadi momentum untuk mengenalkan produknya kepada masyarakat luas, agar lebih mengenali produknya yakni Mie Sundoro.

“Beda dengan kerja. Kalau kerja, kita tahu jam berapa mulai dan selesai. Kalau usaha, kita harus mikirin semuanya strategi, distribusi, pemasaran, pencatatan. Semua diatur sendiri," tegas Adi.

Terpisah, Koordinator Rumah Kreatif BUMN BRI Semarang, Endang Sulistiawati menjelaskan bahwa BRI hadir untuk membantu pelaku UMKM dan membimbing ataupun mendampingi sebagai wujud komitmen BRI.

Saat ini sekitar 3.000 pelaku UMKM telah ternaungi oleh Rumah Kreatif BUMN BRI Semarang, termasuk produk Bakmi Jogja Sundoro. Beragam fasilitas tentunya bisa diakses, agar bisa naik kelas.

Selain itu, pihaknya terus berkomitmen dalam membuat komunitas yang sehat dalam membantu perkembangan UMKM, untuk saling tukar pikiran ataupun ilmu.

Baca juga: Kisah Penjual Mie Ayam di Semarang Diserbu Pembeli saat Lebaran, Pembayaran Pakai QRIS Urai Antrian

Bantuan itu untuk mewujudkan agar UMKM bisa lebih go modern, go online, go digital, bahkan go global, dengan tujuan untuk membantu para pelaku usaha agar tidak stak dan bisa terus berkembang.

"Tentu para UMKM, juga mendapat beragam fasilitas yang diberikan rumah BUMN meliputi pelatihan gratis, modul gratis, dan pendampingan," katanya.

"Termasuk juga memfasilitasi bazaar, untuk memperkenalkan produk UMKM dan fasilitas penunjang lainnya seperti bantuan legalitas," tambahnya. (Rad)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved