Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Jateng

1,08 Juta Peserta PBI JK di Jateng Dinonaktifkan, BPJS Kesehatan Kirimkan Surat Lewat PT Pos

Sebanyak 1.089.767 peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Jawa Tengah dinonaktifkan berdasarkan SK Menteri Sosial Nomor 80 Tahun 2025

BPJS Kesehatan
APRESIASI KEPATUHAN -- BPJS Kesehatan Kedeputian Wilayah VI memberikan Apresiasi Kepatuhan Pembayaran Iuran JKN oleh Pemda, di Hotel PO Semarang, Rabu (11/6/2025). 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Sebanyak 1.089.767 peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Jawa Tengah dinonaktifkan berdasarkan SK Menteri Sosial Nomor 80 Tahun 2025. Mereka merupakan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK).

Deputi Direksi BPJS Kesehatan Kedeputian Wilayah VI  Yessy Kumalasari mengatakan, penyebab tidak aktifnya peserta sangat beragam, antara lain peserta tidak lagi masuk kategori miskin berdasarkan data terbaru.

Selain itu, peserta berpindah segmen ke mandiri atau pekerja penerima upah, peserta meninggal dunia, registrasi bayi dilakukan lebih dari tiga bulan sejak kelahiran.

"Termasuk, data NIK tidak valid atau tidak terdaftar dalam PBI JK hingga terdapat tumpang tindih data dengan sumber lain," kata Yessy seusai Apresiasi Kepatuhan Pembayaran Iuran JKN oleh Pemda, di Hotel PO Semarang, Rabu (11/6/2025).

Yessy menjelaskan, kini data terbaru penerima PBI JK menggunakan lebih dari tiga sumber data kemiskinan, yaitu data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), registrasi sosial ekonomi (regsosek), pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem (P3KE), serta data dari berbagai kementsrian. 

"Validasinya tetap berbasis NIK, dan dilakukan sinkronisasi rutin oleh Kementerian Sosial dengan Dukcapil dan Kementerian Kesehatan," terangnya. 

Saat ini pemerintah kabupaten/kota diminta melakukan verifikasi dan validasi ulang terhadap peserta yang dinonaktifkan. Pasalnya, data yang digunakan berasal dari pusat, sementara kondisi riil di daerah bisa berbeda.

Yessy membeberkan, BPJS Kesehatan telah bekerja sama dengan PT Pos Indonesia untuk mengirimkan surat pemberitahuan kepada keluarga peserta terdampak.

"Yang sering menjadi masalah adalah peserta baru tahu nonaktif ketika sudah butuh layanan kesehatan. Padahal, BPJS hanya menjamin peserta yang aktif," ujarnya. 

Jika membutuhkan layanan saat status nonaktif, lanjut dia, peserta harus terlebih dahulu mengurus perubahan segmen ke mandiri. Jika tidak mampu, peserta nonaktif harus berkoordinasi dengan Dinas Sosial setempat. 

Pihaknya mendorong penerapan skema Universal Health Coverage (UHC) noncut off. Dalam skema ini, peserta baru bisa langsung aktif dalam 1x24 jam setelah didaftarkan, dengan syarat pemerintah daerah memiliki anggaran cukup untuk satu tahun data yang valid dan pembayaran iuran dilakukan tepat waktu.

"Dari sisi dukungan pembayaran, 35 kabupaten/kota sudah sangat suportif. Namun, masih ada daerah yang baru menganggarkan 9–11 bulan. Sisa kekurangannya menunggu pembahasan perubahan anggaran di Agustus–September," jelas Yessy.

Yessy mencatat, cakupan UHC di Jateng sudah mencapai lebih dari 98 persen. Kendati demikian, keaktifan peserta masih menjadi tantangan. Total keaktifan baru menyentuh angka 74–75 persen, sementara target RPJMN tahun ini adalah 80 persen.

Dari 35 kabupaten/kota, sebanyak 26 daerah sudah masuk kategori prioritas karena cakupan dan keaktifan peserta di atas 80 persen. Namun, masih ada 14 kabupaten/kota yang keaktifannya perlu didorong.

Meski saat ini terdapat kesenjangan antara penerimaan iuran dan beban pembiayaan kesehatan, dia memastikan, arus kas BPJS Kesehatan secara nasional masih seimbang. 

Jika terjadi keterlambatan pembayaran lebih dari 15 hari kerja , BPJS terancam dikenai denda sebesar satu persen per hari keterlambatan.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Jateng, Sumarno mengapresiasi upaya BPJS Kesehatan dalam mendorong keaktifan peserta dan menjaga kesinambungan program.

Namun, pihaknya menyoroti potensi masalah jika peserta yang dinonaktifkan ternyata masih tergolong miskin.

"Kalau memang data menunjukkan mereka sudah naik kelas, tentu kita bersyukur. Dari pengalaman sebelumnya, banyak yang begitu dinonaktifkan, lalu sakit, ternyata masih tergolong miskin. Ini yang perlu diverifikasi ulang di level kabupaten/kota," kata Sumarno.

Pihaknya mendorong agar warga yang mampu segera berpindah ke segmen mandiri atau pekerja penerima upah. Sementara, earga yang tidak mampu diusulkan kembali ke segmen PBI melalui mekanisme yang berlaku.

Adapun Pemprov Jateng telah berkontribusi dalam pendanaan PBI dengan membiayai 2.200 peserta setiap bulan. Dia berharap proses pengaktifan ulang peserta yang memenuhi kriteria tidak dipersulit.

"Kalau datanya benar dan mereka memang masih tergolong miskin, jangan sampai program ini jadi beban baru. Harus ada kolaborasi konkret dari pemkab/pemkot untuk memastikan saudara-saudara kita tetap terlayani," ujarnya.

Menurutnya, peserta mandiri menjadi tantangan tersendiri karena tingkat keaktifannya masih rendah. Sementara, peserta dari segmen pekerja penerima upah relatif aktif karena pembayarannya otomatis.

"Ke depan, kami akan gencarkan sosialisasi agar masyarakat memahami pentingnya status aktif dalam JKN. Kami juga terbuka terhadap dukungan dari sektor swasta atau CSR untuk membantu peserta yang tidak mampu," tambah Sumarno. (eyf)

Baca juga: Hilang 8 Hari, Mbah Ngadinah Genuk Ditemukan Tinggal Kerangka di Pinggir Kali Babon Semarang

Baca juga: Kisah Dwi Ayu Panik NIK Anak Tak Terdaftar, Pilih Langsung Datang ke SDN 1 Sekaran Semarang

Baca juga: "Jangan Jadi Horor" Bupati Pati Sudewo Tanggapi Kabar Covid-19 yang Kembali Merebak

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved