Berita Semarang
Kisah Hidayah Ratna Meraih Mimpi Menjelajah Batas Negara dengan Benang dan Jarum
Polio mengubah hidup Hidayah Ratna Febriani tapi tak merenggut semangatnya untuk membangun Ida Modiste di Semarang.
Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: raka f pujangga
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Suara mesin jahit berpadu dengan gelak tawa riang terdengar dari sebuah rumah produksi di Sambiroto, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang.
Di balik keramaian itu, Hidayah Ratna Febriani, pemilik Ida Modiste, duduk di kursi rodanya, mengamati hasil jahitan para karyawannya beberapa di antaranya adalah penyandang disabilitas.
Ia bukan hanya pemilik usaha jahit kebaya dan busana pesta. Ia adalah penggerak, ibu, sekaligus guru bagi banyak jiwa yang sebelumnya merasa tak dianggap.
Baca juga: Sosok Kahudi dan Raka Octa Dirumorkan Bergabung dengan PSIS Semarang Musim Depan
Perempuan kelahiran Semarang, 2 Februari 1975 itu, akrab disapa Ida.
Sejak usia tiga tahun, ia menjadi difabel daksa akibat polio.
“Sejak kecil saya itu susah jalan. Sering jatuh. Badan panas. Waktu dibawa ke rumah sakit, ternyata kena polio,” ujarnya pelan dengan senyum, Rabu (18/6/2025).
Semua berubah sejak itu.
Polio mengubah hidupnya tapi tak merenggut semangatnya.
Sejak kecil dia menjadi sasaran bully teman-teman sekolahnya.
Namun hal itu yang membuat Ida menjadi lebih tahan banting.
Tekanan sosial membuatnya belajar menguatkan diri, dan menjadikan setiap penolakan sebagai bukti bahwa ia layak untuk diakui.
Setelah lulus dari SMEA jurusan Manajemen Pemasaran, Ida ingin kuliah, seperti kakak dan adiknya yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Namun orang tuanya punya pandangan lain.
“Mereka ingin saya punya keterampilan,” kenangnya.
Ida menolak, marah, dan memilih berdiam selama setahun. Sampai akhirnya ia menyerah.
“Saya mulai ikut kursus menjahit, bikin kue, masak, dan lainnya. Tapi awalnya itu karena terpaksa, jadi enggak nyantol di otak,” ucapnya sambil tertawa.
Selama mengikuti pelajaran menjahit, Ida tak bisa mengikuti secara maksimal, lantaran dia hanya sebatas menjalani kata orang tua saja.
Ida menjelaskan, dari situlah gurunya mengatakan, "Kalau bulan depan kamu masih belum paham, kamu keluar saja," kata Ida sambil menirukan omongan gurunya.
Ucapan itu mengguncang hatinya.
Mulai sejak itu, dia menghafal rumus pola di luar kepala.
Dan sungguh-sungguh untuk belajar.
Usahanya berbuah hasil. Pada bulan keempat, seorang tetangga meminta dibuatkan baju untuk acara sunatan.
Tak disangka, baju buatannya menuai pujian.
Dari situ, pesanan mulai berdatangan dari mulut ke mulut.
Puncaknya, ia mendapat pesanan dari keluarga mantan Wali Kota Semarang, Sutrisno Suharto.
“Putri-putrinya suka sekali dengan hasil jahitan saya. Dari situ, ajudan dan teman-teman beliau ikut jahit ke saya juga,” kenangnya.
Meski secara resmi Ida Modiste baru berdiri tahun 2000, aktivitas menjahit Ida dimulai sejak 1996, bermodal keterampilan dari kursus dan semangat yang tak pernah padam.
Tiga tahun berselang, ia sudah mempekerjakan empat orang. Salah satunya, Mbak Atik, masih setia menemaninya hingga kini sudah 27 tahun.
Ida fokus pada pembuatan kebaya, gaun pesta, kemeja pria, dan busana lainnya.
Produksinya sempat mencapai 90 potong per bulan, dengan omzet sekitar Rp 50 juta.
“Itu sebelum Covid. Masa-masa emas,” ujarnya.
Pandemi membuat segalanya jungkir balik. Dari 15 karyawan, hanya lima yang bertahan.
Tapi Ida tak menyerah dan terus bangkit.
“Alhamdulillah kami dapat bantuan dari pemerintah. Usaha tetap jalan walau terseok,” ucapnya lirih.
Kini, ia mulai bangkit perlahan. Ida Modiste mempekerjakan 10 orang, tiga di antaranya adalah penyandang disabilitas.
Bagi Ida, membangun usaha bukan semata soal keuntungan. Ada sesuatu yang lebih besar yang ingin ia wariskan.
Meski Ida Modiste berlokasi di gang sempit wilayah Sambiroto, bukan berarti jangkauan pasarnya sempit.
Justru sebaliknya, kebaya dan busana karya Ida telah menembus batas kota, pulau, bahkan negara.
“Alhamdulillah, pelanggan saya itu enggak cuma dari Semarang. Ada dari Jakarta, Medan, Papua, Malaysia sampai Jepang, Australia, Amerika,” ujar Ida.
Salah satu yang paling berkesan, menurutnya, adalah ketika seorang kenalannya di Australia menyarankan kebaya untuk komunitas perempuan Indonesia di sana.
“Waktu itu ada acara ulang tahun komunitas Ibu-Ibu Indonesia di Australia. Nah, mereka pengin kebaya dari Indonesia, terus dikasih dua pilihan saya sama perajin dari Solo. Ternyata yang dipilih saya,” ujarnya, bangga tapi tetap rendah hati.
Pemesan dari luar negeri tak menjadi kendala.
Pengukuran semua dilakukan secara daring, begitu juga konsultasi desain dan belanja bahan.
Ida sudah terbiasa menghadapi tantangan seperti itu.
“Kami sudah biasa ngukur online. Jadi enggak masalah, asal komunikasinya jelas,” katanya.
Seiring waktu, reputasi Ida juga menyebar di kalangan pejabat dan tokoh masyarakat. Ia sering menerima pesanan dari kepala dinas, istri-istri pejabat, hingga figur publik.
“Saya pernah ngukur di Puri Gedhe, waktu itu buat Pak Ganjar dan Istrinya. Kemudian Wali Kota Semarang saat ini Bu Agustin Wilujeng juga langganan saya. Beliau suka bilang ke orang-orang, ‘Ini desainer saya,’” ujarnya sambil tersenyum.
Sekitar tahun 2014, Ida merasa hampa meski bisnis sedang bagus.
“Seperti ada yang kosong di hati saya,” katanya.
Asistennya menyarankan untuk mencari kegiatan sosial. Dari situlah ia bergabung dengan Sahabat Difabel di Jalan Untung Suropati.
Di sana, ia menjadi relawan pengajar menjahit.
“Yang saya ajar itu ada tunarungu, down syndrome, daksa, sampai grahita. Saya ajarkan semua yang saya bisa, dan ternyata itu yang bikin hati saya tenang,” ujarnya sambil tersenyum.
Sudah hampir 11 tahun ia mengabdi sebagai relawan.
Kini, ia menjabat sebagai Ketua Yayasan, dan membuka peluang kerja bagi penyandang disabilitas melalui Ida Modiste.
Beberapa dari mereka datang dari luar kota, karena mengenal Ida lewat pemberitaan media.
“Ada yang dari Solo, Cilacap. Mereka lihat saya di TV, terus datang belajar,” tuturnya.
Baca juga: Mengenal Wastralingga, Rumah Bersama Para Perajin Batik Purbalingga
Bagi Ida, menjahit adalah jalan hidup. Setiap benang yang ia tarik, setiap pola yang ia gambar, adalah bagian dari misi untuk memberdayakan.
“Difabel itu bisa mandiri. Bisa punya penghasilan. Asal diberi kesempatan,” ujarnya dengan mata berbinar.
Tak banyak yang tahu, bahwa di balik selembar kebaya indah buatan Ida, ada kisah perjuangan panjang seorang perempuan yang memilih untuk melawan keterbatasan bukan dengan amarah, tapi dengan keberanian dan ketekunan. (Rad)
Sosok Rohmat Sukur, Warga Semarang Terlibat Penculikan Kacab Bank BUMN: Sering Nyupiri Bos |
![]() |
---|
2.800 Mahasiswa Baru Polines Satukan Semangat Lewat Outbound Training |
![]() |
---|
Irwan Hidayat Tekankan Integritas dan Akal Budi di Hadapan Mahasiswa Baru Universitas Telogorejo |
![]() |
---|
Harga Emas Antam Hari Ini di Kota Semarang Kamis 28 Agustus 2025, Naik Rp 4.000 per Gram |
![]() |
---|
Prakiraan Cuaca Kota Semarang Hari Ini Kamis 28 Agustus 2025: Hujan Ringan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.