UKSW SALATIGA
IICF 2025 UKSW: Semarak Budaya dari Kampus Indonesia Mini untuk Dunia
Melalui gelaran Pesta Budaya IICF 2025, UKSW memantapkan diri sebagai Kampus Indonesia Mini yang menyuarakan keberagaman ke panggung dunia.
Penulis: Laili Shofiyah | Editor: M Zainal Arifin
Tak ketinggalan, Rektor Intiyas bersama dr. Robby Hernawan juga berkesempatan untuk mengunjungi seluruh stan etnis.
Dalam acara ini keduanya didampingi oleh Wakil Rektor Bidang Pengajaran, Akademik, dan Kemahasiswaan Profesor Ferdy S. Rondonuwu, Direktur Direktorat Kemahasiswaan Giner Maslebu, S.Si., S.Pd., M.Si., Ketua umum SMU Tri Aprivander Waruwu, Ketua panitia Rikko Yan Lado Ae, serta sejumlah anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).
Menjelajahi Kekayaan Budaya
Acara tahunan bergengsi yang berlangsung sejak siang hingga malam ini sukses membawa pengunjung untuk menjelajahi kekayaan budaya Indonesia.
Sajian beragam budaya tercermin dari deretan stan yang menampilkan berbagai miniatur rumah adat lengkap dengan hiasan aksesoris daerah, kain daerah, alat musik tradisional, lukisan hingga makanan khas daerah.
Salah satu yang paling mencuri perhatian adalah Rumah Tongkonan Toraja milik etnis PKMST (Persekutuan Keluarga Mahasiswa Siswa Toraja Salatiga) yang berdiri megah menggambarkan keunikan ukiran khas berwarna merah, hitam dan kuning emas yang sarat makna simbolik filosofi tentang kehidupan masyarakat Toraja.
Baca juga: Sinergis Dunia Industri, UKSW Jalin Kerja Sama dengan Perusahaan Ternama PT Kievit Indonesia
Di antara miniatur rumah adat tersebut, perwakilan mahasiswa yang tergabung dalam 21 etnis terlihat anggun dan tampan mengenakan pakaian adat.
Di mana setiap busana mencerminkan keunikan dan identitas budaya masing-masing suku.
Berdiri anggun, Triyanti Mangalla mahasiswa Fakultas Psikologi mengenakan Pokko busana dari Sulawesi Selatan.
Ia mengungkapkan rasa senangnya karena bisa menunjukan pakaian daerahnya kepada para pengunjung.
“Kegiatan IICF ini sangat bagus karena bisa memperkenalkan budaya kami mulai dari miniatur rumah adat hingga kosa kata dalam bahasa daerah Toraja,” ungkapnya.
Beranjak ke Nusa Tenggara Timur (NTT), di stan Himpunan Mahasiswa Alor di Salatiga (HIMMASAL) juga mengajak para pengunjuk untuk mengenal lebih dekat alat musik tradisional Alor yaitu Moko atau Nekara Perunggu.
Alat musik ini biasanya digunakan sebagai mas kawin dalam pernikahan adat.
“Dalam pernikahan, masyarakat Alor menggunakan Moko sebagai pembayaran belis seorang laki-laki kepada calon istrinya,” jelas Justin Saudale anggota etnis.
Belajar Budaya
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.