Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

UIN SAIZU Purwokerto

Dari Ali bin Abi Thalib sampai Ibnu Rushd: Jejak Rasionalisme Islam yang Terlupakan

Dari Ali bin Abi Thalib sampai Ibnu Rushd: Jejak Rasionalisme Islam yang Terlupakan

Editor: Editor Bisnis
Ist
Prof. Dr. H. Supriyanto, Lc., M.S.I. Peneliti UIN Saizu Purwokerto 

 

Oleh : Prof. Dr. H. Supriyanto, Lc., M.S.I.
Peneliti UIN Saizu Purwokerto

TRIBUNJATENG.COM - Di tengah gempuran era digital, banyak anak muda Muslim yang bertanya: "Kenapa umat Islam tertinggal dalam sains dan teknologi?" Jawabannya mungkin ada pada sejarah pemikiran rasional Islam yang sempat jaya tapi kini terlupakan.

Seorang filsuf Mesir, Zaki Naguib Mahmud, membongkar lima fase emas rasionalisme Islam yang bisa jadi inspirasi generasi milenial.

Fase pertama dimulai dari Ali bin Abi Thalib. Khalifah keempat ini bukan hanya ahli pedang, tapi juga maestro kata-kata.

"Nahjul Balaghah"-nya menjadi bukti bagaimana logika dan spiritualitas bisa menyatu. Sayangnya, setelahnya muncul kelompok Khawarij yang anti-dialog dan memilih jalan kekerasan. Inilah awal perpecahan antara rasionalis dan anti-rasionalis dalam Islam.

Memasuki abad ke-8, Basrah menjadi pusat debat teologis seru. Tiga kubu saling berargumen: Khawarij yang ekstrem, Murji'ah yang moderat, dan Mu'tazilah yang rasional. Perdebatan tentang dosa besar dan takdir ini justru melahirkan tradisi diskusi ilmiah yang sehat.

Fase ini disebut Mahmud sebagai "lampu akal" yang mulai menyala terang.  
Puncaknya terjadi di era Keemasan Islam abad ke-9. Bayt al-Hikmah di Baghdad menjadi Google-nya zaman itu.

Buku-buku Yunani diterjemahkan, sains berkembang pesat, dan para ilmuwan Muslim seperti Al-Kindi berani bilang: "Kebenaran ilmu dan agama tidak mungkin bertentangan karena berasal dari sumber yang sama."  

Abad ke-10 melahirkan bintang-bintang baru: Ikhwan as-Shafa dengan ensiklopedia sainsnya, At-Tauhidi si filsuf multitalenta, dan Ibnu Jinni yang membedah logika bahasa Arab. Mereka adalah bukti bahwa Islam pernah menjadi kiblat peradaban dunia.

Tapi semua berubah ketika Imam Al-Ghazali muncul. Kritiknya yang keras terhadap filsafat membuat sains dan logika dicurigai. "Ini kemunduran besar," kritik Mahmud. Untungnya, di Spanyol Islam, Ibnu Rushd membela mati-matian pentingnya akal.

Bagi Mahmud, inilah fase "pohon zaitun" yang seharusnya terus tumbuh subur.  
Ironisnya, warisan emas ini kini banyak dilupakan. "Banyak pesantren lebih fokus menghafal daripada berpikir kritis," keluh Ahmad, seorang santri asal Banyumas dalam hasil penelitiannya. 

Padahal, menurut penelitiannya, 90 persen masalah umat Islam modern berasal dari kurangnya tradisi berpikir rasional. Filsuf Zaki Naguib Mahmud menawarkan solusi: kembali ke akar rasionalisme Islam tapi dengan pendekatan modern.

"Al-Quran sendiri memerintahkan kita untuk berpikir, meneliti, dan mengambil pelajaran," tegas Prof. Supriyanto sambil mengutip surat An-Nur ayat 35 tentang cahaya ilmu pengetahuan.
  
Bagi generasi muda Muslim yang galau antara tradisi dan modernitas, kisah ini memberi pencerahan. "Kita tidak perlu memilih antara jadi santri atau scientist. Sejarah membuktikan, yang terbaik adalah menjadi keduanya."

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved