Tanoto Foundation
Unplugged Coding Literacy, Menyemai Logika dan Literasi Tanpa Komputer di Sekolah Dasar
Essai Rohmadi Purwono, S.Pd, Fasilitator PINTAR Tanoto Foundation, Guru SD Negeri Sadeng 02, Kota Semarang.
Oleh: Rohmadi Purwono, S.Pd. Fasilitator PINTAR Tanoto Foundation, Guru SD Negeri Sadeng 02, Kota Semarang
PEMBELAJARAN sains di jenjang sekolah dasar kerap menghadapi tantangan ketika peserta didik dihadapkan pada konsep-konsep abstrak, seperti bentuk energi dan perubahannya dalam mata pelajaran IPAS. Di SD Negeri Sadeng 02, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, keterbatasan akses terhadap media konkret dan perangkat teknologi menjadi tantangan tersendiri dalam menyampaikan materi tersebut secara efektif. Selain itu, kemampuan berpikir logis dan literasi siswa juga masih perlu ditingkatkan secara menyeluruh.
Sebagai solusi atas tantangan tersebut, diterapkan pendekatan inovatif berupa Unplugged Coding Literacy. Metode ini merupakan strategi pembelajaran yang mengintegrasikan aktivitas membaca cerita sains, pengembangan computational thinking, serta penyusunan algoritma dengan media fisik – dilakukan tanpa menggunakan komputer. Pendekatan ini dirancang untuk membantu siswa memahami perubahan energi melalui pendekatan kontekstual, menyusun alur logika, dan mengomunikasikannya dalam bentuk visual serta lisan.
Kegiatan pembelajaran diawali dengan pembacaan cerita berjudul “Pagi Penuh Energi Bersama Bayu”, yang menggambarkan berbagai aktivitas sehari-hari yang melibatkan perubahan energi. Guru kemudian memfasilitasi diskusi kelas untuk mengidentifikasi berbagai bentuk energi yang terdapat dalam cerita. Selanjutnya, siswa menggunakan kartu simbol seperti gambar steker (listrik), gambar lampu (cahaya), gambar termometer (panas), gambar sepeda (gerak), gambar notasi balok (bunyi) untuk menyusun algoritma perubahan energi berdasarkan cerita tersebut.

Tahapan dilanjutkan dengan tugas mandiri siswa untuk menulis versi cerita mereka sendiri yang mengandung minimal tiga jenis perubahan energi. Kelompok-kelompok siswa kemudian mempresentasikan hasil algoritma tersebut dalam bentuk diagram alir atau urutan langkah. Di akhir kegiatan, guru memberikan umpan balik dan mengajak siswa melakukan refleksi bersama.
Hasil dari penerapan metode ini menunjukkan dampak positif yang signifikan. Peserta didik menjadi lebih mudah memahami konsep perubahan energi karena disampaikan melalui cerita yang dekat dengan kehidupan mereka serta aktivitas bermain yang menyenangkan. Keterampilan literasi meningkat, ditunjukkan oleh kemampuan membaca dengan pemahaman, menuliskan ulang informasi penting, dan menyampaikan pendapat secara runtut. Selain itu, computational thinking siswa berkembang, khususnya dalam menyusun algoritma dan menyelesaikan masalah secara sistematis. Kolaborasi antar siswa juga terbangun melalui kerja kelompok dan diskusi aktif.
Testimoni dari peserta didik menunjukkan peningkatan pemahaman. Nindi, siswa kelas VI, menyatakan, "Dulu saya bingung bedanya energi panas dan cahaya. Sekarang saya bisa menjelaskannya lewat kartu dan cerita. Belajarnya jadi seru!" Sementara itu, Pak Dinar, guru kelas V, menyampaikan bahwa pendekatan ini memberinya inspirasi untuk mengajarkan materi IPA lainnya dengan cara yang lebih menarik dan kontekstual.
Meskipun kegiatan berjalan efektif, evaluasi menunjukkan perlunya pengembangan lebih lanjut. Dibutuhkan panduan visual atau modul sistematis agar metode ini dapat direplikasi oleh guru lain. Selain itu, penting dilakukan penguatan pelatihan literasi digital dan computational thinking secara berkelanjutan guna memperluas dampak praktik baik ini.
Unplugged Coding Literacy menjadi bukti bahwa pembelajaran sains yang menyenangkan, logis, dan kolaboratif dapat terwujud tanpa bergantung pada perangkat digital. Dengan kreativitas dan pendekatan yang tepat, tantangan keterbatasan fasilitas dapat diubah menjadi peluang untuk menumbuhkan literasi dan logika sejak dini. (*)