Wonosobo Hebat

Menjelajahi Tradisi Unik Manten Pari di Wonosobo: Ritual Kuno Menjemput Dewi Sri

Tribun Jateng/Imah Masitoh
MANTEN PARI - Warga Desa Selokromo, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo gelar Tradisi Manten Pari, Minggu (27/7/2025). Tradisi ini sebagai bentuk rasa syukur sekaligus penghormatan kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dan padi dalam kepercayaan masyarakat Jawa sebelum panen padi. 

TRIBUNJATENG.COM, WONOSOBO - Tradisi Manten Pari (pengantin padi) masih dijalankan sebagian masyarakat di Desa Selokromo, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo.

Tradisi ini sebagai bentuk rasa syukur sekaligus penghormatan kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dan padi dalam kepercayaan masyarakat Jawa.

Sucipto selaku tokoh adat Desa Selokromo mengatakan, tradisi ini sebagai bentuk syukur menjelang masa panen padi.

Baca juga: Pembangunan Sekolah Rakyat di Semarang Seluas 1,9 Hektare Mengancam Produksi Padi 53,58 ton Setahun

Tradisi ini dikenal sebagai ritual memetik Dewi Sri, yakni padi yang dianggap sebagai perwujudan sang dewi yang akan dibawa pulang dari sawah ke rumah.

“Itu tradisi kuno ya, tradisi yang istilahnya memetik Dewi Sri. Dewi Sri itu mau dipetik, itu mau diselamatkan, dibawa ke rumah. 

Istilahnya ada pari lanang, pari wadon. Kalau pari lanang itu satu pikul, pari wadon itu satu gendongan,” kata Sucipto.

20250727_Tradisi Manten Pari di Wonosobo_2
MANTEN PARI - Warga Desa Selokromo, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo gelar Tradisi Manten Pari, Minggu (27/7/2025). Tradisi ini sebagai bentuk rasa syukur sekaligus penghormatan kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dan padi dalam kepercayaan masyarakat Jawa sebelum panen padi.

Di tengah sawah yang mulai menguning, tokoh adat setempat membacakan syair berbahasa Jawa yang intinya berisi doa.

Ia mengelilingi setiap sudut kotakan sawah sembari membacakan syair yang berisi doa-doa untuk kesuburan padi.

Di pojok salah satu petak sawah ditancapkan dupa, harum semerbak seketika menyebar tercium aroma khas di persawahan.

Masyarakat setempat telah menyiapkan dua buah boneka laki-laki dan perempuan yang terbuat dari jerami padi. 

Ini lah sebagai bentuk perwujudan Manten Pari.

"Boneka ini satu bapak tani, satunya biung tani, jadi diartikan keduanya pengantin. Kalau pengantin padi itu laki-laki satu pikul, perempuan satu gendongan," terangnya.

Manten Pari kemudian diarak dari sawah ke rumah petani, sebagai simbol bahwa hasil bumi telah diselamatkan dan siap diberkahi sebelum dijual atau disimpan.

“Bawa pulang ke rumah, terus dari sawah udah diarak-arak, sudah sampai rumah atau sudah diselamatkan. Istilahnya mau dijual atau disimpan yang penting sudah sampai rumah nanti dipasangin sesaji lagi," jelasnya.

Beragam sesaji khas pun telah disiapkan setelah padi dipanen. Tidak hanya untuk penghormatan, tetapi juga sarat makna.

“Ada godong tawa atau dadap serep, ada ngilo (timbangan), ada jungkat (sisir), ada kembang dewuran, wedhang kopi, ada wedhang teh, ada wetang bening,” sebutnya.

Masing-masing sesaji menyimpan filosofi mendalam. Ngilo melambangkan niat petani untuk menjual hasil panen, karena biasanya padi akan ditimbang atau dijual secara kiloan. 

Sementara itu, godong tawa melambangkan proses ketika padi sudah dipanen dan akan ditawarkan kepada bakul-bakul atau tengkulak.

Ada pula jungkat atau sisir, yang melambangkan kebijaksanaan petani untuk menyisihkan sebagian hasil panennya untuk kebutuhan makan sendiri, sebelum dijual

Sedangkan kembang dewuran dimaknai sebagai harapan agar hasil panen dijual dengan harga yang unggul dan menguntungkan.

Pada sisi spiritual, sesaji juga disempurnakan dengan minuman yang mengandung filosofi mendalam.

Wedang teh menggambarkan karakter petani yang telaten dan hati-hati, wedhang bening melambangkan kesucian hati, wedhang kopi dipercaya sebagai simbol bahwa petani harus berpikir yang bagus seperti mengambil keputusan terkait hasil panennya.

Sebagai pelengkap sesajen, digunakan pula rokok Sriwedari yang dianggap selaras dengan identitas padi sebagai titisan Dewi Sri. 

Tradisi Manten Pari dilakukan menjelang masa panen tiba berbeda dengan Wiwit Tandur yang dilakukan sebelum masa tanam.

Sucipto berharap tradisi ini akan terus dilestarikan. 

Ia menyebut seiring waktu, tak semua masyarakat masih menjalankan tradisi ini. 

Hanya segelintir warga dan tokoh adat yang masih melestarikan dengan sadar.

Baca juga: Hadiri PADI 2025 di Soropadan, Mohammad Saleh Berharap Jateng Jadi Penumpu Pangan Nasional

Sebagian petani tetap yakin bahwa menjalankan tradisi ini membawa manfaat nyata. Mereka percaya alam merespons spiritualitas dengan hasil yang lebih baik.

"Kalau saya ibaratnya mau menjalankan terus ya. Di sini misal ada tikus, ada hama apapun, alhamdulillah tanaman saya enggak pernah. Dari segi bobot juga lebih maksimal. Kembali lagi itu kepercayaan masing-masing saja,” tandasnya.

Tradisi ini cermin dari kearifan lokal yang mengingatkan manusia pentingnya merawat nilai-nilai leluhur. (ima)