Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

UIN SAIZU Purwokerto

Sound Horeg dan Ekonomi Keumatan: Antara Hiburan, Mudarat, dan Keadilan Sosial

Sound Horeg dan Ekonomi Keumatan: Antara Hiburan, Mudarat, dan Keadilan Sosial

Editor: Editor Bisnis
UIN SAIZU PURWOKERTO
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E Akademisi UIN Saizu Purwokerto 

Oleh: Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E
Akademisi UIN Saizu Purwokerto


Belakangan ini, perbincangan tentang sound horeg kembali memanas, terutama pasca fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang mengharamkan penggunaan sound system berdaya ledak tinggi dalam kondisi tertentu. 


Bagi sebagian masyarakat, terutama di pedesaan, sound horeg bukan sekadar alat pengeras suara. Ia telah menjadi simbol pesta, hiburan, bahkan ekonomi kerakyatan. 


Namun di sisi lain, suara yang tembus 120-135 desibel itu menyisakan problem serius: kesehatan, ketertiban umum, hingga moralitas sosial.


Apa Itu Sound Horeg?


Secara etimologis, “sound horeg” adalah gabungan dari bahasa Inggris sound (suara) dan bahasa Jawa horeg yang berarti bergetar atau mengguncang.


Maka, sound horeg secara harfiah berarti suara yang menggetarkan. Tidak seperti sound system profesional yang proporsional dan terstandar, sound horeg cenderung menekankan kekuatan suara dan dominasi bass, sering kali tanpa mempertimbangkan ruang, kebutuhan, atau keselamatan pendengar.


Sound horeg lazim dijumpai dalam acara desa seperti pernikahan, kontes joget, karnaval, bahkan unjuk kekuatan sound antar komunitas.


Dalam acara semacam ini, tak jarang sound horeg disertai joget erotis, mabuk-mabukan, hingga tawuran. Maka wajar jika sebagian masyarakat mempertanyakan: “benarkah sound horeg hanya soal suara?”


Suara Bising dan Kerusakan Sosial


Fatwa MUI Jatim menyebutkan bahwa penggunaan sound horeg haram jika melebihi ambang batas toleransi suara dan menimbulkan kemudaratan. 


MUI merujuk pada standar WHO bahwa ambang suara aman adalah maksimal 85 desibel selama 8 jam. Di atas itu, kebisingan bisa menyebabkan kerusakan telinga, gangguan tidur, hipertensi, bahkan penyakit jantung.


Menurut Dokter Spesialis THT dari Universitas Airlangga, Nyilo Purnami, paparan suara 91 dB saja hanya bisa ditoleransi selama 2 jam. Maka paparan 120-135 dB, seperti pada sound horeg, jelas membahayakan.


Dalam kaidah fikih, “dar’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih” menolak kerusakan harus lebih diutamakan daripada menarik manfaat.


Ekonomi Keumatan atau Ekonomi Semu?


Pendukung sound horeg kerap menyebut manfaat ekonominya: menggerakkan pedagang kecil, menyerap tenaga kerja, membuka ruang ekspresi budaya. Tapi mari kita telusuri lebih jujur: siapa yang paling diuntungkan?


Sewa sound horeg skala besar bisa mencapai puluhan juta rupiah, apalagi jika disewa atas nama RT atau desa. Iurannya pun jarang benar-benar sukarela.


Meski disebut “urunan lima ribuan,” pada praktiknya ada tekanan sosial bagi warga yang enggan ikut. Masyarakat kecil akhirnya terpaksa iuran, takut dianggap pelit, dikucilkan, atau dimusuhi. Ini bukan gotong royong, tapi bentuk beban ekonomi tambahan di tengah kondisi hidup yang sudah berat.


Apakah ini yang dimaksud ekonomi keumatan? Bukankah ekonomi umat seharusnya meringankan, bukan membebani?


Hiburan vs Maksiat: Jangan Pilih-pilih Dampak


Ada argumen dari sebagian pihak yang mengatakan, “Kerusuhan, joget buka aurat, dan mabuk bukan dari kami pemilik sound. Kami hanya menyediakan suara.”


Namun argumen ini problematis. Jika mereka hanya ingin diukur berdasarkan suara semata, maka kelompok penentang pun bisa berkata, “Manfaat ekonomi juga bukan dari kalian, sebab kalian hanya memutar suara.”


Jika kita ingin bersikap adil, maka seluruh dampak baik positif maupun negatif harus dihitung sebagai satu paket. Tak bisa hanya menonjolkan sisi ekonomi dan budaya, lalu menolak bertanggung jawab atas sisi destruktifnya.


Dalam kaidah usul fikih, jika satu kegiatan mengandung dua kemungkinan manfaat dan mudarat maka bila mudarat lebih dominan, maka hukumnya haram.


Apalagi jika mudarat itu mencakup pengrusakan fisik (rumah retak karena getaran), psikologis (gangguan tidur warga), hingga moral (aurat dan mabuk-mabukan).


Islam dan Etika Suara


Islam mengatur adab bersuara. Dalam QS. Luqman:19, Allah memerintahkan kita merendahkan suara, dan menyebut suara keras menyerupai suara keledai. 


Dalam kitab I’anatut Thalibin disebutkan bahwa mengangkat suara dalam salat saja bisa menjadi haram jika mengganggu orang lain. 


Maka bagaimana mungkin suara sound horeg yang menggetarkan dinding rumah, membangunkan bayi, atau membuat lansia stres bisa dimaafkan begitu saja?


Hadis Nabi Muhammad SAW juga jelas: “La dharara wa la dhirara” jangan menyakiti dan jangan disakiti. Bahkan dalam hadis riwayat Muslim, beliau bersabda: “Muslim sejati adalah yang membuat orang lain selamat dari lisan dan tangannya.”


Maka, jika tangan bisa menyakiti, suara pun bisa menyakiti. Apalagi jika itu berskala komunitas dan memaksa pendengarnya.


Solusi: Jalan Tengah yang Adil


MUI tidak mengharamkan sound horeg secara mutlak. Bila digunakan secara wajar 
 volume terkendali, tidak disertai kemaksiatan, tidak memaksa warga ikut iuran maka tetap diperbolehkan. Solusi jalan tengah bisa dilakukan dengan:


 1. Pembatasan volume dan jam tayang. Pemerintah daerah harus mengatur batas desibel maksimal dan durasi penggunaan.
 2. Penjadwalan dan zonasi. Sound horeg hanya boleh di lokasi terbuka dan jauh dari pemukiman padat.
 3. Izin dan pengawasan konten. Acara yang mengundang potensi maksiat harus dicegah sejak awal.
 4. Skema partisipasi sukarela yang benar. Iuran harus tanpa tekanan, dan warga boleh menyatakan tidak setuju tanpa konsekuensi sosial.
 5. Pendidikan masyarakat. Sosialisasi tentang bahaya kebisingan dan etika berhibur dalam Islam penting dilakukan.


Sound horeg bukan sekadar alat suara. Ia adalah fenomena sosial, budaya, ekonomi, bahkan ideologi. Di satu sisi bisa membawa hiburan dan pemasukan, tapi di sisi lain bisa menimbulkan kebisingan, kemaksiatan, dan beban sosial.


Maka seperti kata pepatah Arab: “Segala sesuatu yang berlebihan adalah musibah.” Sudah saatnya kita mengatur sound horeg secara adil, bukan emosional. Antara hak berekspresi dan kewajiban menjaga kenyamanan sosial. 


Antara ekonomi umat dan etika Islam. Sebab dalam Islam, hiburan tak boleh merusak, dan ekonomi tak boleh menyakiti. Jika suara yang terdengar bukan lagi keberkahan, melainkan kegaduhan maka itulah saatnya untuk diam. *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved