Semarang
Keisengan Supriyono Mampu Mengubah Pemukiman Kumuh di Semarang Jadi Estetik
Dengan kuas dan sisa cat seadanya, Supriyono (58) mengubah wajah kampung di pinggir rel kereta di Pendrikan Lor.
Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: rival al manaf
Supriyono sendiri tak pernah mengenyam pendidikan seni. Sejak kecil ia memang suka menggambar, tetapi beberapa tahun terakhir mencoba mural. Teknik mencampur warna ia pelajari dari YouTube.
“Kalau desainnya kan dari warga, saya tinggal eksekusi. Yang susah itu nyocokkan warna biar nggak ‘bentrok’. Jadi harus bikin campuran sendiri,” jelasnya.
Selain melukis, Supriyono bekerja sebagai tukang cukur. Ia membuka barbershop kecil di kampungnya.
Waktu melukis biasanya ia mulai sekitar pukul 16.00 sore, setelah selesai memangkas rambut pelanggan.
“Sore itu enak, sudah adem. Jadi bisa kerja sampai malam kalau belum selesai,” katanya.
Bagi Supriyono, seni mural yang ia geluti bukan semata soal gambar. Ia melihatnya sebagai sarana memperindah lingkungan, membangun rasa kebersamaan, dan memberi identitas pada kampungnya.
Dari sebuah sisa cat dan niat sederhana, ia membuktikan bahwa seni bisa lahir di mana saja.
Bahkan di pinggir rel kereta api, tempat yang dulu dikenal kumuh, kini berubah menjadi kampung penuh warna yang membuat setiap orang ingin berhenti sejenak dan memandang.
Warga Senang Pemukiman Jadi Estetik
Abdul Aziz tersenyum lebar saat berdiri di depan gapura Jalan Abimanyu V RT 5 RW 2, Kelurahan Pendrikan Lor.
Di atas permukaan tembok yang dulu kusam, kini terpampang mural Tokoh Nahdlatul Ulama, Pemandangan, Transformer, dan Doodle.
Gambar-gambar itu merupakan request dari dia, istrinya dan anaknya. Ia masih ingat betul bagaimana kawasan itu dulu dipandang sebelah mata.
Dinding-dinding retak, cat mengelupas, dan coretan tak jelas menjadi pemandangan sehari-hari.
Suara kereta yang lalu-lalang di jalur dekat rumahnya pun seakan ikut menegaskan kesan kumuh yang melekat.
Perubahan mulai terasa ketika Supriyono, tetangganya yang dikenal hobi melukis, memutuskan memanfaatkan tembok-tembok kampung sebagai kanvas.
Dua Destinasi Baru di Kota Lama Semarang, Ada Resto Hingga Cafe |
![]() |
---|
Kisah Mukhlisno Gantungkan Harapan pada Alat Penanam Padi Baru di Tengah Krisis |
![]() |
---|
Kisah Syahrul Nelayan di Semarang Tinggalkan Solar, Gunakan Gas Melon Lebih Hemat 3 Kali Lipat |
![]() |
---|
Ini Masalah yang Paling Banyak Dilaporkan Masyarakat Semarang |
![]() |
---|
Lebih dari 8.000 Anak di Semarang Alami Caries Gigi, Ini Penjelasan Dinkes |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.