Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

PPG 2025

Contoh Studi Kasus PPG 2025 Soal LKPD Kurang Menarik dan Tidak Sesuai Sesuai Karakter Siswa Kelas 8

Contoh studi kasus PPG 2025 soal LKPD kelas 8 yang kurang menarik dan tak sesuai karakter siswa. Simak analisis dan solusi yang ditawarkan.

Editor: Awaliyah P
IST
ILUSTRASI - Contoh studi kasus PPG 2025 soal LKPD kelas 8 yang kurang menarik dan tak sesuai karakter siswa. Simak analisis dan solusi yang ditawarkan. 

Contoh Studi Kasus PPG 2025: Masalah LKPD Kurang Kontekstual

TRIBUNJATENG.COM - Inilah contoh studi kasus PPG 2025 masalah LKPD kurang kontekstual.

Dalam pelaksanaan Program Profesi Guru (PPG) 2025, para peserta ditantang untuk mampu menganalisis berbagai permasalahan pembelajaran di kelas secara kritis dan solutif.

Salah satu studi kasus yang bisa diangkat adalah soal LKPD (Lembar Kerja Peserta Didik) untuk siswa kelas 8 SMP yang dinilai kurang menarik dan tidak sesuai dengan karakteristik siswa pada jenjang tersebut.

Permasalahan ini menjadi sorotan karena berpengaruh langsung pada minat belajar dan partisipasi siswa selama proses pembelajaran.

Para peserta PPG diharapkan mampu mengevaluasi kelemahan LKPD tersebut dan menawarkan solusi perbaikan yang lebih kontekstual, kreatif, dan sesuai dengan kebutuhan siswa usia remaja.

 
Judul: Penyempurnaan LKPD agar Lebih Kontekstual dan Mudah Dipahami Siswa Kelas VIII

Permasalahan:

Saya mengajar mata pelajaran IPA kelas VIII di SMP Negeri Bintang Harapan.

Saat menyampaikan materi tentang "Teknologi Ramah Lingkungan", saya membagikan LKPD yang sudah saya siapkan sebelumnya.

LKPD tersebut berisi penjelasan singkat, tabel, dan beberapa soal uraian.

Namun, setelah digunakan, saya mendapati bahwa sebagian besar siswa kesulitan mengisi LKPD tersebut.

Mereka terlihat bingung, kurang tertarik, dan banyak yang hanya menyalin dari temannya.

Beberapa siswa mengaku tidak memahami maksud soal karena menggunakan istilah yang terlalu ilmiah dan terlalu jauh dari kehidupan mereka.

Saya pun menyadari bahwa LKPD tersebut terlalu "teoretis" dan tidak menyentuh konteks lokal atau pengalaman nyata siswa.

Hal ini menyebabkan keterlibatan siswa sangat rendah, dan tujuan pembelajaran tidak tercapai secara optimal.

Upaya untuk Menyelesaikan Masalah:

Saya mulai dengan mengevaluasi isi dan struktur LKPD.

Saya membandingkannya dengan kebutuhan siswa dan gaya belajar mereka yang lebih suka hal visual, konkret, dan terhubung dengan kehidupan sehari-hari.

Setelah itu, saya merevisi LKPD dengan pendekatan yang lebih kontekstual.

Langkah yang saya lakukan antara lain:

1. Mengganti ilustrasi dan contoh dalam LKPD menjadi lebih dekat dengan lingkungan siswa. 

Misalnya, saya menggunakan contoh bank sampah sekolah dan kebun hidroponik warga setempat.

2. Menambahkan aktivitas observasi lingkungan, di mana siswa diminta mengamati bentuk teknologi ramah lingkungan yang ada di rumah atau sekitar sekolah.

3. Mengubah soal menjadi pertanyaan terbuka, seperti: "Apa ide teknologi ramah lingkungan yang bisa diterapkan di sekolah kita?"

4. Menggunakan bahasa sederhana dan menyertakan petunjuk langkah demi langkah agar mudah diikuti.

5. Saya juga mencoba mendesain ulang tampilan LKPD agar lebih menarik, dengan menggunakan warna, ikon, dan ruang kosong yang cukup untuk menulis jawaban.

Hasil dari Upaya:

Hasilnya cukup memuaskan.

Siswa menjadi lebih antusias saat mengerjakan LKPD baru tersebut.

Mereka bisa mengaitkan isi LKPD dengan lingkungan mereka, dan lebih mudah memahami tugas yang diberikan.

Dalam diskusi kelas, mereka aktif menyampaikan temuan dari observasi.

Jawaban mereka pun lebih beragam dan mencerminkan pemahaman yang baik.

Saya juga melihat adanya peningkatan skor dalam penilaian formatif.

Tidak hanya itu, siswa yang biasanya pasif mulai terlihat percaya diri dalam menyampaikan pendapat.

Pengalaman Berharga:

Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa LKPD bukan sekadar lembar soal, tetapi alat penting yang bisa membangun keterlibatan, kreativitas, dan pemahaman siswa, jika dirancang dengan benar.

LKPD yang baik harus memperhatikan bahasa, konteks lokal, dan keterlibatan aktif siswa.

Dengan menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran, kita bisa menciptakan proses belajar yang lebih bermakna dan menyenangkan. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved