Laporan Wartawan tribun Jogja/ jsa
TRIBUNJATENG.COM SLEMAN - Jalan menuju Alas Bedengan, lokasi upacara adat Labuhan Merapi pada Minggu (3/7/2011) menanjak cukup terjal. Jaraknya juga tidak bisa dibilang dekat. Peserta upacara adat maupun wisatawan tidak bisa menempuhnya dengan kendaraan, melainkan harus berjalan kaki.
Dalam perjalanan mendaki, tidak sedikit wisatawan yang kelelahan dan duduk beristirahat. Cukup banyak pula yang menyerah tidak mengikuti rombongan peserta Labuhan Merapi dan kembali turun.
Namun tidak demikian dengan salah satu abdi dalem Kraton Yogyakarta, Minten Joyo Saputro (77). Nenek yang sudah lama menjadi abdi dalem ini berjalan mendaki ke lokasi Labuhan Merapi di Alas Bedhengan, Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman itu tanpa alas kaki. Ia mengaku berjalan terus ke atas tanpa beristirahat dan juga tidak merasa lelah. Saat ditemui wartawan usai upacara pun ia terlihat tenang.
"Mantep kalih percoyo. Lebetke manah, mesti kuat (Kita harus mantap dan percaya. Masukkan itu ke dalam pikiran, pasti akan kuat)," ujar nenek bertubuh mungil itu. Satu hal yang menjadi kunci adalah niat. "Kalau niat di hati kuat, pasti bisa!" kata dia lagi.
Kekuatan niat itu, kata dia, juga menjadi kunci dalam menjalani kehidupan sehari-hari. "Saat sakit, kalau kita berniat mantap untuk sembuh, pasti akan sembuh. Begitu juga dengan kesulitan di dalam kehidupan," ujar nenek itu penuh wibawa. Hingga usianya saat ini, Minten masih rajin berolahraga. "Saya sehat dan rajin berolahraga, seperti senam dan jalan," ujarnya.
Seorang abdi dalem lainnya, Suminah (40) juga terlihat segar bugar usai menjalani upacara Labuhan Merapi. Sinden yang sudah empat mengabdi pada Kraton Yogyakarta itu berjalan mendaki ke lokasi Labuhan Merapi tanpa mengenakan alas kaki. Ia juga tidak beristirahat di tengah perjalanan meskipun semalam sebelumnya ia ikut menyumbangkan suaranya dalam pagelaran wayang kulit yang digelar semalam suntuk.
Seorang abdi dalem laki-laki, Mas Eko Sugiantoro mengaskan, keyakinan menjadi satu hal yang penting. "Kalau yakin saya kuat, pasti kuat. Kalau berpikir capai, ya capai," ujar abdi dalem bertubuh tegap itu.
Jalan mendaki ke lokasi Labuhan Merapi dari bekas rumah Mbah Maridjan hanya sekitar dua meter lebarnya. Tanahnya berpasir. Di beberapa tempat, pasir itu masih sangat tebal sehingga langkah kaki pun lebih berat.
Sisi kanan dan kirinya dibatasi dengan seutas tali rafia berwarna merah. Tebing yang curam langsung terlihat di sisi kanan dan kiri jalur itu.
Beberapa anggota keamanan berjaga di beberapa titik, anggota kepolisian, Tagana, Tim SAR, Saluran Komunikasi Sosial Bersama (SKSB), Jogja Magelang Elektronik (JME), dan beberapa kelompok lainnya. "Cuaca tadi pagi cerah, tidak mendung seperti biasanya," ujar Kapolsek Cangkringan, AKP Sudalidjo. Hal itu membuat proses berlangsungnya upacara adat Labuhan Merapi menjadi lebih aman.
Salah satu kelompok yang ikut membantu proses pembuatan lokasi Labuhan Merapi sekaligus jalan menuju ke sana adalah JME. Koordinator lapangan JME, Agus Wijayanta mengatakan, pihaknya membantu proses pembuatan lokasi sekitar dua bulan sebelum upacara adat dimulai. "Saat itu masih berbentuk gundukan material yang harus kita buka agar menjadi seperti lapangan. Ukurannya sekitar enam kali 20 meter," kata Agus.
Proses pembuatan itu kemudian dibantu juga oleh beberapa kelompok lain, antara lain Tim SAR Djiephatsong, SKSB, Tagana, dan Tim Sarda DIY. "Langkah selanjutnya membuka alur untuk pejalan kaki," lanjut Agus. (
Upacara Adat Labuhan Merap
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger