PEMILIHAN Umum legislatif 9 April lalu membawa secercah harapan. Berdasarkan data sementara Komisi Pemilihan Umum, calon anggota DPR RI yang lolos ke Senayan didominasi sosok baru. Jumlah caleg petahana atau incumbent, yang kerap dikritik dalam 5 tahun terakhir, lebih sedikit.
Namun di balik titik terang itu, masih banyak keraguan kepada mereka yang lolos, sekaligus cemoohan terhadap pelaksanaan pesta rakyat lima tahunan ini. Pemilu 2014 dituding kental permainan politik uang atau money politics.
Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Aria Bima menyimpulkan Pemilu 2014 brutal dan tidak mendidik. "Saya tidak menyalahkan rakyat. Tapi kebrutalan partai dan calegnya yang menggunakan uang sebagai cara menarik suara rakyat," kata Aria Bima dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (13/4/2014).
Menurut Aria, pileg terlihat bagaimana kekuasaan dimobilisasi oleh uang. Akibatnya partisipasi rakyat hanya karena uang.
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Hanura memilih mundur dari parlemen karena bergabung dan maju sebagai caleg Partai Nasdem, Akbar Faisal menguatkan dugaan Aria Bima. Ia menyebut praktik politik uang pada Pemilu legislatif 9 April sungguh dahsyat.
"Ada seorang caleg habiskan Rp 10 miliar di satu kabupaten. Saya ulangi angkanya, Rp 10 miliar. Di kabupaten lain habiskan Rp 6 miliar. Saya katakan, pemilu kali ini luar biasa rusaknya," kata Akbar di kantor DPP Nasdem, Senin (28/4/2014).
Masihkah Anda meragukan sinyalemen kedua politisi gaek tersebut? Ini testimoni tak terbantahkan. Aryo Djojohadikusumo, calon anggota legislatif Partai Gerindra mengaku menghabiskan sedikitnya Rp 6 miliar dana kampanye di daerah pemilihan DKI Jakarta III.
"Saya tidak akan malu sebut anggarannya berapa. Minimum lebih dari Rp 6 miliar. Saya terbuka, inilah kenyataan di lapangan," kata Aryo di Jakarta, Minggu (26/1/2014). Angka Rp 6 miliar tersebut pengeluaran hingga akhir Januari. Mendekati pemilu 9 April, pengeluaran Aryo masih cukup besar.
Putra dari Hashim Djojohadikusumo ini membelanjakan uang sebesar Rp 8,6 miliar. Tidak sia-sia memang. Ponakan bakal calon presiden Prabowo Subianto itu lolos menjadi anggota dewan yang terhormat.
STRATEGI KAMPANYE
Betulkah setiap caleg harus mengeluarkan uang miliaran agar mendapat simpati dan dipilih konstituen? Ternyata tidak selamanya begitu. "Saya tidak ada money politics. Track record si caleg sangat perlu buat rakyat. Saya misalnya, di kampung ibu saya, serupiah pun saya tidak ada main uang. Cukup emak saya nongkrong di TPS, senyum kepada pemilih, dan terbukti semua memilih saya," kata Kiai Haji Maman Imanulhaq Faqieh, caleg Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) saat berjumpa dengan Tribunnews.com di kawasan Senayan, pekan lalu.
Caleg dari Daerah Pemilihan Jawa Barat IX yang meliputi Subang, Majalengka dan Sumedang ini terpilih tanpa membagi-bagikan uang kepada pemilih. Kiai muda dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat ini memang lolos dengan pendekatan kepada masyarakat, maupun mengenalkan program lewat media massa.
Konsultan komunikasi politik AM Putut Prabantoro mendukung pengakuan sapaan KH Maman. "Untuk melolos caleg menjadi anggota DPR atai DPRD tidak melulu harus main politik uang," ujar Putut saat bertandang ke Redaksi Tribunnews.com, Selasa (6/5/2014) malam.
Putut mengungkapkan, pada pemilu 2014, ia berhasil mengantarkan KH Maman Imanulhaq (Caleg DPR RI Partai PKB dari Dapil Jabar IX) ke Senayan, dan Caleg DPRD Banten dari PDIP, Ananta Wahana. Keduanya terpilih.
Seorang caleg lainnya yang dia bantu, Caleg DPR RI dari Partai Golkar Dapil Yogyakarta Rahmad Pribadi, saat ini masih menunggu rekapitulasi hasil penghitungan suara di KPUD Yogyakarta. Bawaslu merekomendasikan agar plano rakapitulasi penghitungan suara dibuka untuk seluruh Dapil Yogyakarta. “Saya membantu mendesain strategi kampanye caleg melalui media massa, dan sekaligus merumuskan isu strategis apa saja yang menarik buat pemilih di lapangan,” ujar Putut pegiat pluralisme dan kebangsaan.
Putut dan KH Maman memang sudah lama bersama-sama membangun kesadaran Bhinneka Tunggal Ika melalui Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa). Mereka merangkul kalangan wartawan yang peduli bangsa dan negara. Beberapa tokoh pun mendukung seperti mantan Wakil KSAD Letjen TNI (P) Kiki Syahnakri, pengusaha nasional Franciscus Welirang, Arkand BZ (Ahli Methafisika).
Dalam memberi konsultasi komunikasi terutama politik, kata Putut, ia selalu menjaga idealism. Dan calon yang didampingi pun harus memegang teguh idealisme.
Kiprah sebagai Konsultan Komunikasi dirintis Putut sejak 2003, setelah undur diri sebagai GM di Lippo Group. Ia mendirikan Veloxxe Consulting yang bergerak di bidang HRD & Komunikasi. Kepiawaiannya di bidang komunikasi membawanya masuk dalam lingkaran elite pemerintahan. Putut menjabat Penasihat Ahli Kepala BPMigas Bidang Komunikasi dari 2011 hingga lembaga itu dibubarkan pada November 2012.
Ia memiliki jaringan wartawan yang cukup luas dan merupakan kekuatan tersendiri dalam berkiprah sebagai konsultan komunikasi. Itu berkah latar belakang wartawan Kelompok Kompas Gramedia, mantan Ketua Paguyuban Wartawan Katolik (PWKI) periode 2004 – 2013.
Dengan slogan “Demi Indonesia Satu Tak Terbagi”, Putut Prabantoro dengan Gerakan Ekayastra Unmada menjadi Ketua Delegasi kunjungan pluralisme PBHMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam) ke Vatikan pada 2011 yang diterima oleh Kardinal Jean Louis Tauran – Presiden Dewan Kepausan Departemen Dialog Antaragama.
Juni 2012, ia kembali menjadi Ketua Delegasi kunjungan PBHMI, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan LISUMA (Lingkar Studi Mahasiswa Indonesia) ke Russia yang diterima oleh Konstantin Shubalov – Utusan Khusus Presiden Vladimir Putin, Rushan Abbyasov - Wakil Ketua Dewan Mufti Rusia (semacam MUI) dan pemerintah negara bagian Tartastan.
21 PEMIMPIN BANGSA
Dalam konteks mencari pemimpin bangsa, Putut mencemaskan hiruk-pikuk elite politik yang sedang sibuk membahas koalisi yang identik bag-bagi kekuasaan. Para calon presiden kesulitan mencari calon wakil presiden. Menurutnya, dari logika kepartaian, tidak ada orang di luar persetujuan partai dapat dicalonkan menjadi Capres atau Cawapres. Sehingga orang yang memiliki potensi memimpin negeri ini akhirnya tidak diperhitungkan.
Padahal untuk cawapres, ada terobosan yang bisa dilakukan oleh para pimpinan partai pemenang. Mengingat bahwa pilpres itu bukan berbasis partai tetapi lebih penekanan pada daya tarik personal Capres. Pada pilpres 2014, dalam kondisi tidak ada satu pun partai yang otomatis dapat mengajukan pasangan calon presiden – calon wakil presiden, karena tidak mencapai ambang batas yang diatur Undang-undang.
Sebenarnya ada banyak pimpinan bangsa popular ataupun tidak yang dapat dijadikan pertimbangan – meskipun pertimbangan itu sangat jauh dari hitung-hitungan atau logika kepartaian. Siapakah tokohnya?
Menurut Putut, terdapat banyak tokoh bangsa yang tersebar di pusat maupun daerah. Ia berhasil menyortir setidaknya 21 tokoh yang masuk daftar Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) sebagai calon wakil presiden.
Dasar yang digunakan adalah, pemilihan pemimpin bangsa tidak selalu menggunakan dikotomi militer dan nonmiliter, Jawa dan non Jawa, Islam dan Non Islam, Indonesia Barat atau Timur, Partai Koalisi dan non Koalisi. “Rakyat harus didorong untuk berani memunculkan tokoh nasional yang tidak popular tetapi integritasnya jelas,” kata Putut.
Berikut ini 21 tokoh sipil maupun militer, berada di Jakarta maupun pemimpin di daerah yang layak dipilih menjadi bagian pemimpin bangsa:
Laksdya TNI (Purn) Didik Heru Purnomo (Mantan Kasum TNI), Letjen TNI (Purn) Suryo Prabowo (Mantan Kasum TNI), Konjen Pol (Purn) Oegroseno (Mantan Wakapolri), Marsda TNI (Purn) Yunianto Sudirman Yogasara (Mantan DanseskoAU), Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) [Wakil Gubernur DKI Jakarta], R Priyono (Mantan Kepala BPMigas), H. Abdul Kholiq Arif (Bupati Wonosobo, Jateng), Lukas Enembe (Gubernur Papua).
Kemudian Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung, Jabar), Teras Narang (Gubernur Kalteng), Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng), Herman Sutrisno (Mantan Bupati Banjar, Jawa Barat), La Tinro La Tunrung (Bupati Enrekang, Sulsel), Yusuf Wally (Bupati Keerom, Papua), KH Maman Imanulhaq (Caleg terpilih/Pengasuh Pondok Pesantren Al Mizan, Majalengka), Bima Aria (Wali Kota Bogor, Jabar), Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya, Jatim), Suyoto (Bupati Bojonegoro, Jatim), Hugua (Bupati Kepulauan Wakatobi, Sultra), Abdullah Azwar Anas (Bupati Bayuwangi, Jatim) dan Ignatius Jonan (Dirut PT KAI).
Lalu pertanyaannya siapa yang akan memilih mereka? Berkenankan elite partai politik memilih tokoh nonparpol menjadi pemimpin bangsa? (*)