TRIBUNJATENG.COM - Tak sedikit pemain muda berpotensi yang kualitasnya merosot ketika terjun ke kompetisi senior. Pencapaian timnas senior juga kalah mentereng dibandingkan skuat kelompok umur yang dikirimkan ke turnamen internasional.
Mengapa fenomena ini begitu mencolok di Indonesia? Pelatih andal yang juga pendiri sekolah sepakbola, Sartono Anwar, berbagi pandangannya mengenai sistem pembinaan usia dini kepada wartawan Tribun Jateng Ponco Wiyono. Berikut petikannya.
Apakah sistem pembinaan sepakbola usia dini dan muda di Indonesia sudah baik?
Saya tegas katakan: belum! Alasannya belum banyak pelatih berkualitas. Pelatih masih berkutat pada aspek kuantitas atau jumlah peserta didik. Pembinaan mutlak harus ditunjang satu kurikulum yg tepat dan pasti. Merupakan kewajiban pelatih memberi metode pembinaan tepat guna. Jangan sampai membina anak usia 12 tahun, materi yang diberikan untuk usia 8 tahun.
Ada empat unsur pembinaan yang menurut saya sangat mendasar. Pertama pelatih, kemudian kurikulum atau pembinaan ilmiah, terus sarana-prasarana, terakhir kompetisi. Kita bisa meramu kompetisi usia dini yang baik, cuma orang-orangnya tidak ada. Padahal untuk menggelar kompetisi demikian, tak perlu sebesar Liga Super.
Apa filosofi pembinaan sepakbola usia dini?
Yang benar itu semua SSB harus memiliki visi yang sama: membentuk individu pemain yang kuat. Di Indonesia tak seperti itu, semua dituntut harus juara. Tak mengherankan ada tim yang mencuri umur. Dengan membentuk individu kuat berarti tercipta pemain yang kuat. Tim yang memiliki banyak pemain kuat akan lebih mudah mengejar gelar juara.
Kendala apa yang dihadapi dalam pengelolaan sebuah SSB?
Gaji sedikit! Jujur saja, saya sendiri belum puas tapi itu kembali ke SDM-nya. Sementara jika berbicara SSB yang sudah besar, akan selalu ada dinamika di dalam kepengurusan dan pengelolaan. Kami tidak heran, jika pada akhirnya SSB lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Semakin banyak pemain yang mendaftar, itu lebih baik. Pelatih mendapatkan gaji dari SPP mereka, itu hal yang realistis. Sarana yang memadai juga masih menjadi masalah bagi sebagian pengelola SSB.
Bagaimana animo masyarakat terhadap keberadaan SSB?
Saya contohkan Tugu Muda. Berdiri sejak 1987, dari tahun ke tahun animo masyarakat meningkat. Kami merebut 150-an piala yang merupakan magnet bagi orangtua untuk mengirim anak-anaknya. Anak didik kami bukan hanya dari Semarang. Ada yang dari Ungaran, Kendal, Mranggen, sampai Pati.
Apa saja yang wajib diajarkan di sebuah SSB?
Teknik dan taktik. Teknik arahnya ke skill, sedangkan taktik ada tiga elemen. Masing-masing individu, unit, dan tim.
Apakah kurikulum SSB di Indonesia seragam atau punya kesamaan materi ajar?
Tidak! maka saya katakan tadi lebih banyak kuantitas, bukan kualitas. Jika bicara kesamaan, kami sama-sama fokus pada pembentukan fisik dan teknik. Jika boleh menyebut nama, ada beberapa SSB yang memiliki program cukup baik. Di Sragen itu ada IM Sragen, di Kudus ada Forma Kudus, di Solo ada Bonanza. Yogyakarta punya Real Madrid Jogja, di Salatiga ada empat diklat.
Apakah jumlah pelatih khusus usia dini sudah memadai?
Belum! Di seluruh Indonesia, sepengetahuan saya, hanya 20 persen pelatih SSB yang cakap. Seharusnya sebaliknya atau 80 persen. Cakap itu dalam pengertian tahu porsi yang akan diberikan kepada pemain di segala jenjang usia. (*)