KETIKA Warga Desa di Purbalingga Meruwat Mata Air, Rela Lalui Jalan Setapak di Pinggir Jurang

Penulis: khoirul muzaki
Editor: bakti buwono budiasto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Peserta ruwatan membawa Lodong menuju sumber mata air Sikopyah kaki gunung Slamet desa Serang Karangreja

Laporan Wartawan Tribun Jateng, Khoirul Muzakki

TRIBUNJATENG.COM, PURBALINGGA - Jalan desa Serang, Karangreja Purbalingga tiba-tiba sesak dengan iring-iringan manusia.

Rumah penduduk sepi.

Hari ini, Kamis (21/9/2017), banyak warga meliburkan aktivitas kerja.

Mereka mengkhususkan waktu itu untuk meramaikan gawe besar tahunan.

Baca: Anggota Girlband Korea ini Pilih Keluar, Pilih jadi Mualaf dan Berhijab, Begini Ceritanya

Pagi-pagi, ribuan warga desa baik putra maupun putri berseragam adat Jawa berkumpul di halaman masjid desa hingga memenuhi badan jalan.

777 orang di antaranya dipasrahi memegang wadah air dari bahan bambu atau disebut Lodong hingga acara selesai.

Dengan membopong Lodong sepanjang 1,5 meter itu, mereka akan menempuh perjalanan sakral sejauh sekitar 1,5 kilometer menuju sumber mata air Sikopyah di kaki gunung Slamet.

Rute perjalanan ritual itu berupa jalan tanah setapak yang hanya bisa dilalui satu orang.

Baca: Muharam, Guru dan Siswa SMAN 15 Semarang Gelar Dzikir dan Doa Bersama

Sisi jalan sempit itu adalah jurang dan tebing curam.

Sesepuh mengawali perjalanan itu dengan melafalkan doa yang diikuti peserta ruwatan.

Barisan terdepan diisi pembawa sesaji yang dipikul empat orang berpakaian serba hitam.

Barisan selanjutnya adalah para pembawa Lodong yang hendak diisi dengan air suci.

Mereka berjalan khusyuk seperti menghayati setiap tapak yang mereka injak.

Jalan sulit nan terjal membuat langkah mereka rapat agar tak bertumbukan dengan pejalan lain.

Baca: Surat Sepeda Motor Pengendara yang Marahi Polwan Diblokir? Ini Penjelasan Kasatlantas Semarang

Bunyi gemericik air di sela bukit menandakan perjalanan mereka segera berakhir. Mata air bening yang mereka tuju telah ketemu. Barisan pertama menurunkan sesaji lalu meletakkannya di depan mata air yang telah dibangun gubug.

Pemimpin adat melafalkan doa berbahasa Arab, juga salawat Rasul yang diikuti pesérta ruwatan hingga beberapa saat.

Usai didoakan, sesepuh mengambil air suci dengan gayung lalu memasukkannya ke lubang Lodong. Satu persatu peserta kirab menengadahkan Lodong yang mereka bawa agar diisi dengan air suci.

Genap 777 Lodong terisi, mereka membawa kembali lodong berisi air suci itu menuruni gunung.

Balai Desa Serang menjadi titik akhir perjalanan kirab mereka yang menguras keringat.

Baca: Polres Demak Bantu Cari Napi yang Kabur dari Rutan Jepara

Di tempat itu, air suci itu dikumpulkan untuk dibagikan lagi ke warga kemudian, setelah beberapa hari disemayamkan.

Bupati Purbalingga Tasdi mengatakan, ritual pengambilan air suci Sikopyah mengawali gelaran festival Gunung Slamet.

Sebelum dikemas ke dalam festival sejak tiga tahun silam, tradisi itu telah ada dan dilestarikan oleh masyarakat setempat sejak era nenek moyang.

Pengambilan air suci dari sumber mata air keramat menurut Tasdi sebagai perwujudan syukur warga terhadap karunia Sang Pencipta berupa air kehidupan.

Baca: Tahun Baru Islam, Bupati Kendal Mirna Annisa Gelar Tirakatan Sederhana di Alun-alun

Apalagi mata air Sikopyah selama ini menjadi denyut nadi warga di beberapa desa di lereng gunung Slamet.

Selain wujud syukur, ruwatan mata air ini memiliki arti sosial karena menjadi pengikat persaudaraan warga.

Disi lain, tradisi ruwatan ini menurut Tasdi bermakna kultural karena sekaligus mengangkat budaya atau kearifan lokal yang menjadi kekuatan masyarakat desa.

"Tradisi ruwatan ini juga bisa mendukung destinasi pariwisata di kaki gunung Slamet sehingga bisa mengangkat perekonomian warga,"katanya. (*)

Berita Terkini