TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Ketua DPRD Kota Semarang, Supriyadi, mendapati Adi Tri Hananto menangis saat serah terima jabatan di Balai Kota Semarang, Senin (8/1). Siang itu, Adi lorot dari jabatannya sebagai sekretaris daerah (sekda) menjadi kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil).
Beredar kabar, pencopotan Adi dari kursi tertinggi jabatan karir aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan pemerintah kota (pemkot) itu terjadi karena Adi tak lagi sejalan dengan pimpinannya. Namun, hal ini langsung dibantah Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu.
"Kami baik-baik semua. Tidak ada masalah. Kan dia (Adi, Red) juga sudah lima tahun jadi Sekda sehingga butuh penyegaran. Toh sampai lima tahun kami juga jalan," kata Ita, sapaannya, Selasa (9/1).
Dilengser dari jabatan, dipindahtugaskan ke organisasi perangkat daerah (OPD) lain, bisa terjadi pada ASN manapun. Apalagi, di tahun politik seperti saat ini, peluang itu makin terbuka lebar.
Mungkin, bukan karena pilihan politik yang berbeda antara ASN dengan pimpinan tetapi bisa saja karena keinginan ASN tersebut menantang pimpinan dalam pertarungan kepala daerah (pilkada). Atau juga, sikap tak netral selama pilkada berlangsung.
Promosi dan demosi seolah menjadi alat untuk memberi "penghargaan" dan "menghukum" ASN. Apalagi, jika kepala daerah menjadi incumbent. Berdalih sebagai penyegaran, mutasi pejabat menjadi cara mudah meraih dukungan dan simpati.
Di Jawa Tengah, tahun politik bakal berlangsung agak lama, dua tahun berturut-turut. Di 2018, Jawa Tengah menggelar pemilihan gubernur (pilgub). Dan di tujuh kabupaten kota digelar pemilihan bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota.
Tujuh wilayah tersebut adalah, Kabupaten Banyumas, Temanggung, Kudus, Karanganyar, Tegal, Magelang, dan Kota Tegal.
Sementara, di 2019, iklim politik bakal memanas lantaran pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg). Di kesemua gelaran pesta demokrasi itu, incumbent paling diuntungkan. Tak hanya soal fasilitas, mereka pun bisa memanfaatkan program kebijakan untuk mendulang suara.
Terkait dengan pesta demokrasi ini, Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri Sumarsono, mengingatkan ASN agar bersikap netral. Bahkan, pihaknya bakal mengawasi secara ketat. Ancamannya begitu berat.
"Jika memenuhi kategori pelanggaran, langsung diberhentikan sementara. Oleh karena itu, tolong jangan terlibat," pinta Sumarsono.
Jelas, pemberian sanksi terkait pelanggaran netralitas ASN di pilkada berbeda dari ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dalam peraturan tersebut, ASN yang melanggar bakal mendapat kesempatan tiga kali pemanggilan pemeriksaan sebelum sanksi diberikan.
Memang seperti buah simalakama, tak mendukung calon incumbent bakal terancam didemosi dari jabatan namun jika terbukti mendukung dan tak netral, status sebagai ASN dipertaruhkan. Jadi, mau pilih mana? (tribunjateng/rika irawati)