Laporan Wartawan Tribun Jateng, Rifqi Gozali
TRIBUNJATENG.COM, KUDUS – Wajah Endang sayu saat menunjukkan angka banyaknya warga Kudus yang mengidap Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
Penyakit yang menyerang organ vital manusia berupa paru-paru itu sepanjang Januari sampai Mei 2018 sudah mencapai 294 orang yang terserang.
Sembari membolak-balikkan berkas, perempuan yang kini menjabat sebagai Kasi Penyakit Tidak Menular (PTM) pada Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Kudus mengaku prihatin.
Pasalnya, baru lima bulan jumlah pengidap PPOK sudah separuh lebih dari jumlah total sepanjang tahun 2017 yaitu sebanyak 489 orang.
“Artinya selama lima bulan pada tahun ini sudah separuh lebih dari jumlah pada tahun 2017,” kata Endang pada akhir Juni 2018.
Angka tersebut diperoleh pihaknya dari laporan setiap Puskesmas di Kudus.
Lantas pihaknya bukan tidak mau menanggulangi, namun karena upaya penanggulangan misalnya berupa penyuluhan kepada masyarakat terkait konsumsi rokok sangat sulit.
Sebab rokok sudah menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat.
Sekadar diketahui, PPOK merupakan penyakit yang menyerang organ vital manusia, yakni paru-paru, hampir sama secara kasat mata dengan asma.
Sama-sama mengalami sesak napas. Hanya saja, cara penangannya pun berbeda.
“Jika asma itu karena pencetus harus menghindari pencetusnya. Tapi kalau PPOK itu riwayat perokok, jadi merokoknya itu yang harus dihindari. Merokok ini kebiasaan. Bisa menyebabkan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis),” kata Endang.
Sementara upaya lain yang dilakukan Dinkes terhambat adanya perpindahan jabatan di lingkungan Dinkes. Pasalnya Kasi PTM mulai dibentuk pada 2017.
Adapun program yang berkaitan dengan upaya pengurangan konsumsi rokok yang sebelumnya telah dilakukan pun tidak ada tindak lanjut.
“Dari Dinkes pernah melakukan pelatihan UBM (Upaya Berhenti Merokok) saya juga tidak pernah dapat datanya. Artinya terputus. Saya kalau mau melanjutkan juga harus kerepotan,” kata dia.
Salah seorang warga Kudus yang mengidap penyakit paru-paru, Fauzan, mengatakan, selama beberapa tahun terakhir dia sudah tidak merokok.
Apa yang dilakukan tersebut pun membuahkan hasil.
Penyakitnya kini tak kambuh lagi.
Lelaki berusia 58 tahun itu kini lebih merasa memiliki kesehatan prima setelah tidak merokok.
Saat di sekitarnya terdapat terdapat orang yang merokok, dia merasa sangat terganggu.
Tak jarang dia juga menegurnya, namun ketika tak diindahkan, dialah yang menyingkir agar tak terpapar asap rokok.
“Asapnya itu berbahaya. Saya sudah pernah dirawat sembilan bulan gara-gara sakit paru, batuknya sampai parah,” tutur warga Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, Kudus.
Warga Kudus lainnya yang kini tak lagi mengonsumsi rokok yaitu Muhammad Toriq.
Sudah lima tahun terkahir dia tidak merokok.
Sebulan pertama tidak merokok, dia mulai merasakan manfaatnya.
Kondisi tubuhnya semakin bugar dan tidak lagi merasakan sakit di bagian dadanya.
“Sebelumnya saya menderita diabetes. Setelah itu merambat ke paru,” tutur lelaki berusia 50 tahun.
Serangan penyakit pada paru-paru rupanya deteksi awal bronkiektasis.
Toriq tidak ingin deteksi awal kerusakan saluran bronkus pada paru-parunya itu semakin menjadi-jadi, akhirnya dia memutuskan untuk menyudahi untuk mengomsumsi lintingan kertas berisi tembakau.
“Kalau dipikir-pikir, saya merokok bukan kebutuhan. Asal merokok saja. Waktu sakit itu berhenti ternyata rasanya enak, akhirnya berhenti terus,” katanya.
Selain mengancam kesehatan, rupanya pengeluaran masyarakat atas rokok mengalahkan kebutuhan akan sayur-mayu dan susu.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kudus, pada tahun 2017 rokok masih terhitung besar menjadi pengeluaran per kapita dalam sebulan.
Misalnya saja pada kuintil I yang merupakan pengeluaran 20 persen terendah per kapita, tercatat rokok dan tembakau menduduki urutan ketiga setelah pengeluaran untuk kategori makanan minuman jadi dan padi-padian.
Sementara di bawah rokok terdapat sayur-sayuran dan susu.
Sementara pada 20 persen pengeluaran terbesar atau kuintil V, pada tahun 2017 rokok justru berada di nomor urut dua setelah pengeluaran per kapita untuk kebutuhan makanan dan minuman jadi.
Hal ini menunjukkan jika pengeluaran masyarakat untuk kebutuhan.
Jika dihitung rata-rata, selama 2017 pengeluaran per kapita sebulan rokok menduduki urutan kedua setelah pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi.
Ironi, angka pengeluaran untuk kebutuhan rokok lebih tinggi dari jenis padi-padian, daging, telur, susu, sayur, dan buah-buahan.
Bahkan selama sejak 2015, pengeluaran per kapita untuk rokok selalu mengalami kenaikan dan masuk dalam tiga besar jenis pengeluaran.
Terdapat Banyak Industri Rokok
Sebutan Kota Kretek bagi Kudus berimbang dengan jumlah perusahaan rokok.
Dari data Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Kudus terdapat sedikitnya 58 perusahaan rokok.
“Sebenarnya masih ada banyak perusahaan lainnya yang kami catat dan kami pantau. Hanya saja kami sistem kerjanya melingkupi eks-Karesidenan Pati yang tidak hanya Kudus saja,” kata Kepala KPPBC Kudus Imam Prayitno melalui Kasi Penyuluhan dan Layanan Informasi (PLI) Dwi Prasetyo Rini.
Mendapat julukan sebagai Kota Kretek, lantas apakah membatasinya untuk tidak mengatur sejauh mana konsumsi rokok?
Meski belum berupa Perda, setidaknya Kudus sudah memiliki Perbup Nomor 18 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM).
Bahkan pada Juli 2017 Pemkab Kudus mendapat penghargaan Paramesti dari Kementerian Kesehatan atas Perbup tersebut.
Aturan Belum Maksimal
Adanya Perbup KTR dan KTM diakui Endang masih belum berjalan maksimal.
Sebab, berbagai ancaman yang bisa timbul akibat merokok masih belum menjadi perhatian di kalangan masyarakat.
Melihat fakta tersebut, adanya Perbup KTR masih belum mampu menjadi tameng penghalau membanjirnya perokok.
“Perbup KTR belum maksimal. Misalnya saja orang itu ngeh dengan penyakit tidak menular yang disebabkan oleh rokok maka dia akan memberdayakan diri sendiri. Merokok ini sudah menjadi perilaku kebiasaan, memang merubah perilaku kebiasaan itu yang susah. Sedangkan untuk menuju Perda masih sangat jauh,” katanya.
Dalam praktiknya, wewenang penegakan Perbup KTR dan KTM ini menjadi tanggung jawab Satpol PP Kudus.
Kasi Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP Kudus Fariq Mustofa mengatakan, sejauh ini pihaknya telah menjalankan tugas sesuai dengan amanat Perbup.
Di antara tempat yang paling sering disambangi untuk sosialisasi dan pembinaan yakni instansi pendidikan.
Sedangkan dalam Perbup terdapat tempat lain yang notabene sebagai kawasan dilarang merokok.
Di antaranya fasilitas kesehatan, tempat bermain anak, tempat ibadan, dan angkutan umum ber-AC.
“Yang paling kami tekankan memang sekolahan. Sebulan bisa rata-rata tiga kali. Sedangkan untuk fasilitas kesehatan terbilang lebih tertib karena sudah terdapat papan larangan merokok. Selain itu banyak masyarakat yang sadar bahwa di tempat fasilitas kesehatan memang dilarang merokok,” kata Fariq.
Fariq berujar, yang pihaknya lakukan hanya berdasar pada Perbup.
Bahkan apa yang dilakukannya mendapat tanggapan positif dari pihak sekolah.
Sedangkan pada kenyataannya masih banyak iklan rokok di sekeliling sekolah seolah menjadi mimpi buruk atas upaya yang selama ini pihaknya lakukan.
“Yang jadi persoalan karena memang di luar sekolah, siswa menjadi tanggung jawab orangtua. Kami tidak bisa menindak maupun menegur,” katanya.
Dari penindakan yang dilakukan, terbukti ada beberapa siswa yang kedapatan membawa rokok.
Atas temuan tersebut, akhirnya dilakukan pembinaan seraya melibatkan orangtua siswa.
“Hanya pembinaan dan sosialisasi yang bisa kami lakukan, tidak lebih,” tuturnya.
Namun terlepas dari beberapa kali penindakan, beberapa tempat yang berstatus KTR seolah tak tersentuh aturan.
Di dalam Perbup dijelaskan bahwa arena bermain anak tergolong sebagai KTR.
Di sebuah arena bermain anak yang terdapat di kompleks Taman Bumi Wangi Jekulo siapa pun bebas menyulut rokok. Tak ada papan peringatan yang menunjukkan larangan bagi perokok.
Padahal, hampir setiap sore tempat tersebut menjadi destinasi warga sekitar mengasuh anak atau cucu untuk sekadar meghabiskan waktu menjelang senja.
Tempat ibadah juga masuk dalam Perbup sebagai KTR.
Misalnya di kompleks Masjid Agung Kudus yang masih belum terdapat papan larangan merokok.
Padahal jelas, sebagai KTR harus terdapat papan larangan merokok yang dipasang di lokasi strategis dan mudah dilihat.
Kasus di atas menunjukkan bahwa Perbup KTR masih sangat jauh panggang dari api.
Kronologi Penyusunan Perbup
Jika dirunut dari proses terbitnya Perbup, Rofi Sugiarti seorang staf pada Bidang Kesehatan Lingkungan Dinkes Kudus mengatakan, ada banyak faktor yang memengaruhi terbitnya Perbup tersebut. Di antaranya yakni Peraturan bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/MENKES/PB/i/2011 dan Nomor 7 Tahun 2011 tentang pedoman pelaksanaan KTR.
“Adanya peraturan tersebut sehingga kami harus menerbitkan Perbup yang mengatur kawasan tanpa rokok dan kawasan terbatas merokok,” kata Rofi.
Saat penyusunan Perbup tersebut, katanya, dia menjabat sebagai Kasi Promosi dan Pemberdayaan Kesehatan pada Dinkes Kudus.
Perpindahan jabatan di internal Dinkes akhirnya wewenang untuk menjalankan program beralih ke seksi PTM.
“Meski Kudus terdapat banyak industri rokok, tapi harapan adanya Perbup ini masyarakat sadar bahwa ada hak masyarakat lain untuk mendapatkan udara yang bersih tanpa asap rokok,” kata dia.
Sedianya, pada masa awal terbitnya Perbup pihaknya telah melaksanakan sejumlah program terkait sosialisasi Perbup.
Hal itu mendapat apresiasi dari berbagai kalangan masyarakat terutama para guru.
“Yang menjalankan sosialisasi merupakan masing-masing Puskesmas. Animo guru sangat tinggi karena pada waktu itu, tahun 2015 ada kasus anak SD kelas V yang sudah merokok karena meniru bapaknya,” katanya.
Sudah barang tentu adanya peraturan tersebut membuat sejumlah pelaku industri pengolahan tembakau merasa tidak nyaman.
Ketua Persatuan Pengusaha Rokok Kudus (PPRK) Agus Sarjono mengatakan, sedianya pihaknya tidak suka dengan adanya peraturan yang dinilai mengeliminasi para perokok.
Saat ini, kata dia, kedewasaan para perokok sudah mulai tumbuh.
“Sebetulnya ya tidak suka adanya itu (Perbup). Saat ini para perokok sudah cerdas. Mereka sudah punya sense of human. Mereka sudah tahu diri lah, kalau ada orang yang tidak merokok menghindar, ada anak kecil menghindar. Di dalam kendaran umum sudah bisa menahan diri untuk tidak merokok,” kata Agus.
Bahkan dia berujar, pemerintah tidak perlu menerbitkan peraturan larangan merokok yang terlalu kaku.
“Tidak perlu diatur pemerintah yang terlalu rigid mereka (perokok) sudah dewasa,” katanya. (*)