Tajuk ditulis oleh Wartawan Tribun Jateng, Rustam Aji
TRIBUNJATENG.COM - Di tengah ingar bingarnya penutupan Asian Games 2018, ada hal menarik yang perlu jadi perhatian rakyat Indonesia, yakni kunjungan Wakil Menteri Luar Negeri Venezuela untuk wilayah Asia, Timur Tengah dan Oceania, Ruben Dario Molina.
Ia datang ke Indonesia untuk menerima dukungan terutama dari organisasi-organisasi sosial di Indonesia, akibat krisis ekonomi yang membuat negara yang pernah dipimpin mendiang Hugo Chaves, itu mengalami hyper inflasi sehingga membuat ekonomi negara Venezuela porak-poranda.
Di sela-sela kunjungannya, dia blak-blakan soal kondisi ekonomi yang terjadi di negaranya. Menurutnya, awal mula krisis ekonomi yang terjadi ketika pemerintahan Presiden Nicolas Maduro menerapkan sistem ekonomi dengan prinsip sosialisme.
Untuk mengatasi hyper inflasi, negara Venezuela di antaranya mengeluarkan uang baru dengan memangkas lima angka 0, serta menerbitkan mata uang digital.
Indonesia sebenarnya juga tak luput dari krisis. Indonesia tercatat beberapa kali mengalami krisis. Salah satu yang parah ialah krisis moneter (krismon) pada 1998.
Kala itu, Indonesia juga mengalami inflasi tinggi. Nilai tukar rupiah juga anjlok.
Dengan kondisi ekonomi saat ini, Indonesia juga berpotensi mengalami krisis ekonomi kembali meski tidak separah tahun 1998, mengingat saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sudah berada di kisaran Rp 14.761 – Rp 14.800.
Meski rupiah tengah mengalami tekanan dari nilai mata uang dolar Amerika, namun langkah cukup berani dilakukan oleh pemerintahan Jokowi sejak beberapa bulan lalu. Di antaranya, ketika negara-negara lain yang tengah dilanda krisis ekonomi mengurangi gaji untuk pegawai pemerintah dan membatalkan sejumlah proyek infrastruktur, Presiden Jokowi justru melakukan langkah sebaliknya, dia malah menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS).
Di sisi lain, meski proyek infrastruktur mulai dikurangi, namun hal itu tidak mampu mengangkat nilai tukar rupiah. Akibat nilai tukar rupiah yang meroket, tidak hanya membuat rakyat “deg-degan” melihat kondisi masa depan ekonomi Indonesia, mengingat utang negara juga makin menggunung.
Berbeda dengan krisis yang terjadi pada 1998, di mana mahasiswa sebagai gerbong reformasi langsung bereaksi hingga kejatuhan Presiden Soeharto kala itu, tetapi ini tidak terjadi di era pemerintahan Jokowi-JK (Jusuf Kalla). Benteng-benteng pemerintahan Jokowi-JK tampaknya terlalu kokoh untuk didobrak.
Bahkan, ketika harga bahan bakar minyak (BBM) naik, tidak ada kelompok aktivis mahasiswa yang bereaksi untuk turun ke jalan, padahal ketika di era pemerintahan sebelumnya ketika BBM naik, demonya bisa berhari-hari.
Ke mana mahasiswa saat ini sehingga kehilangan daya kritisnya terhadap pemerintah? Untuk menebak sikap “politik” mahasiswa memang tidaklah mudah, perlu kajian mendalam membedahnya. Tentu saja, berbagai faktor yang melatarbelakangi kejadian aksi-aksi mahasiswa selama ini, yang kurang mendapat respon dari masyarakat, membuat apatis mereka. Sehingga mereka lebih memilih diam, meski di tengah kondisi ekonomi negara yang “berbahaya” daripada tindakannya dianggap “mengganggu” kelancaran jalan, makian, dan lainnya.
Karena itu, hal itu menjadi tugas dan tanggung jawab perguruan tinggi untuk menumbuhkan daya kritis mahasiswa kembali. Pembungkaman terhadap daya kritis mahasiswa, justru akan memunculkan laten yang tak terduga, bisa menjadi “bom waktu” sebagaimana terjadi pada tahun 1998.
Tentu tidak ada salahnya pihak perguruan tinggi “mengalihkan” sikap kritis mahasiswa dengan sibuk membuat karya-karya ilmiah yang berbau inovasi, sepanjang itu tidak hanya sekadar untuk mendapatkan kucuran dana dari kementrian tertentu. Alangkah lebih bijaknya, kesibukan mahasiswa dalam menghasilkan hasil-hasil inovasi juga diimbangi dengan daya kritis mereka terhadap kondisi sosial-politik.
Dengan demikian, mahasiswa tidak kehilangan daya kritis sebagai agent of change. (tribunjateng/cetak/aji)