Forum Guru

OPINI Usman Roin: Meneguhkan Kepahlawanan di Hari Guru

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Usman Roin

Oleh Usman Roin

Guru Ekskul Jurnalistik SMP IT PAPB Semarang dan Pengurus Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jawa Tengah

TRIBUNJATENG.COM -- Hadirnya peringatan Hari Pahlawan (10 November) sebagai peringatan terhadap para pahlawan yang gigih mengusir penjajah yang baru saja diperingati, perlu diejawantahkan pula kepada pendidik (guru, dosen, ustaz, kiai, dan orang tua) yang setia mendidik.

Terlebih, pada 25 November nanti, insan pendidikan akan memperingati Hari Guru Nasional (HGN). Peringatan Hari Guru tersebut sebagai bentuk eksistensi pendidik yang dengan tulus, ikhlas memberikan ilmu pengetahuan yang dipunyai untuk mencerdaskan bangsa.

Kepahlawanan para pendidik hari ini kiranya perlu disadari oleh peserta didik zaman now ditengah maraknya sikap kurang terpuji kepada guru.

Apalagi, posisi guru yang dulu sebagai sumber primer pengetahuan, hari ini perannya terasa tergantikan oleh derasnya teknologi dan informasi.

Hadirnya internet mau tidak mau menjadi kompetitor terhadap guru. Internet dengan segala kecanggihannya mampu menampilkan keinginan pengguna terhadap aneka konten baik berbentuk naratif, foto, dan video. Sehingga keserbacanggihannya mampu memanjakan peserta didik untuk kemudian “lebih percaya” hasil informasi di google dari pada informasi guru. Alhasil, guru tanpa jasa akan selamanya menjadi merek paten yang jasa kepahlawanannya tidak dikenang dan mudah lapuk diingatan peserta didik. Hanya kenangan “galak” itulah yang membekas untuk mengingat akan guru semasa di sekolah.

Di era keniscayaan teknologi dan informasi, cita-cita menjadi guru yang berjasa di zaman now adalah suatu keniscayaan. Bila penulis boleh menyebut, hakikat dan martabat guru perlu direkonstruksi ulang sehingga keberadaannya menjadi bermakna bagi peserta didik. Kebermaknaan itu, tidak hanya saat terjadinya kegiatan belajar mengajar (KBM) melainkan pasca purna belajar belajar peserta didik, tutur, sikap dan perilaku guru menjadi kenangan tidak terlupakan oleh mereka untuk ditiru sampai kapan pun.

Guna meneguhkan guru sebagai pahlawan yang berjasa, bagi penulis ada hal berikut yang perlu dilakukan. Pertama, memiliki profesionalisme tinggi. Artinya, guru dengan gelar akademik yang dimiliki perlu punya jiwa haus akan pengetahuan sebagai bekal mendewasakan bentuk tranformasi pengetahuan yang adaptif. Bisa dengan menambah jenjang strata pendidikan, atau memiliki jiwa literasi yang tinggi baik terhadap diri sendiri maupun sosial. Sehingga keberadaan intelektualitas guru sebanding dengan kuantitas informasi yang cukup searching di dunia maya.

Dengan semakin profesional guru dari sisi akademik, peserta didik tentu akan sangat memuliakannya sebab kekayaan pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, membaca, meneliti (membuat PTK) dan mengikuti seminar bagi guru mutlak dilakukan seiring dengan kecanggihan teknologi dan informasi yang terus berkembang. Tidak lain agar keberadaan guru tetap melekat dihati peserta didik sebagai sarana transformasi pengetahuan yang humanis.

Kedua, punya kompetensi tambahan. Artinya guru dituntut untuk mempunyai kompetensi (kemampuan atau kecakapan) tambahan di luar tugas sebagai seorang guru. Adapun kompetensi yang sebidang dengan dunia pendidikan yang relevan menurut penulis adalah kompetensi menulis. Bila guru memiliki kompetensi tambahan semisal “menulis” tentu secara martabat akan bertambah statusnya, dari guru biasa menjadi guru penulis. Meminjam bahasa Uhar Suharsaputra (2013:153) guru yang demikian memiliki skill mengorganisir pengetahuan (learning organization), yakni kemampuan menerjemahkan pengetahuan yang dipelajari menjadi informasi sederhana yang bisa diaplikasikan kepada orang lain.

Agar guru bisa memiliki kompetensi menulis, yang harus dilakukan adalah punya kepekaan untuk segera mencatat bila sewaktu-waktu ide menulis itu muncul. Terlebih, era medsos ini banyak persoalan yang terjadi dan menjadi sumber tulisan yang mudah didapat dari ruang privasi (gadged), untuk kemudian dikembangkan dalam prespektif pendidikan. Tujuannya, selain menangkap ide menulis, juga sebagai jasa bhakti guru untuk ikut mengurai berbagai persoalan kebangsaan dan terminologi pendidikan.

Guna mewujudkan kompetensi menulis, kuncinya guru perlu meluangkan waktu. 

Meminjam bahasa Jee Luvina, bahwa ‘tugas kita bukan menulis di waktu luang, tapi luangkan waktu untuk menulis.’ Adapun tentang meluangkan waktu menulis, secara personal hal itu bisa dikompromikan sendiri oleh guru. Contoh, dipergantian jam mengajar ada waktu jeda yang bisa digunakan guru untuk menulis (menambah buah pikiran) yang muncul. Hingga bila guru ingin menjadi penulis produktif, menyisihkan waktu dan membuat target tulisan adalah sebuah keharusan.

Adapun yang ketiga, guru perlu memiliki karya. Karya itu bisa berupa inovasi pembelajaran hingga kemudian berhasil menjuarai perlombaan, hingga karya cetak dalam bentuk buku, PTK, artikel populer, puisi, cerpen, yang tayang di media cetak atau online. Karya tersebut juga sebagai bukti bahwa profesi guru yang diemban tidak setagnan, melainkan dioptimalkan guna melahirkan karya inovatif untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Akhirnya, selamat hari guru untuk guruku dan guru-guru semua. (*)

Berita Terkini