Tak Kapok Lakukan Tindak Asusila, Guru di Semarang Ini Dituntut Hukuman Kebiri oleh Wali Murid

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan guru SD 2 Karangayu Semarang, Fery Octavianus Marthen menjalani sidang atas kasus pelecehan sexsual di Pengadilan Negeri Semarang, Kamis (21/2/2019).

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Sidang agenda pembacaan tuntutan mantan guru SD Karangayu 02 Semarang, Jawa Tengah, yang terjerat kasus asusila, Fery Octavianus dilaksanakan tertutup.

Majelis hakim Edi Suwanto meminta seluruh hadirin sidang tidak berada di ruangan selama pembacaan tuntutan.

Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Semarang, Aeni menuturkan terdakwa dituntut 15 tahun penjara.

Tuntutan yang dikenakan merupakan hukuman maksimal.

"Terdakwa dijerat dengan dakwaan tunggal yakni pasal 76 E Jo pasal 82 ayat 1 UU Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP," jelasnya saat ditemui usai persidangan di

Pengadilan Negeri Semarang, Kamis (21/2/2019).

Siswa SMK yang Dorong Gurunya di Dalam Kelas Minta Maaf, OS Cium Tangan dan Peluk Sujiyanto

Guru Agama di Riau Lakukan Tindak Asusila ke Muridnya, Ditangkap Saat Hendak Kabur ke Malaysia

Menurutnya, hal yang memberatkan terdakwa yakni berbelit-belit dalam persidangan, dan tidak mengakui perbuatannya.

Selain itu, terdakwa pernah dihukum perkara yang sama.

"Dari fakta persidangan terdakwa ternyata pernah dihukum tiga tahun," ujarnya.

Aeni mengatakan terdapat lima anak yang menjadi korban terdakwa.

Rata-rata anak tersebut merupakan murid yang diampunya.

"Dulu dia wali kelas 3B, rata-rata korbannya kelas 3B.

Ada juga siswa kelas 3C yang sekarang naik ke kelas 4," terangnya.

Ia yakin dengan dakwaan tunggal yang dikenakannya tersebut menjerat terdakwa dapat menjerat.

Pihaknya akan melakukan upaya hukum lain apabila hakim menjatuhi hukuman yang lebih ringan dari tuntutannya.

"Kalau cuma 2/3 hukumnya atau setengahnya, kami akan lakukan upaya hukum lain," tegasnya.

Persidangan PN Semarang Kasus Pelecehan Seksual, Terdakwa Disuruh Keluar saat Korban Bersaksi

Pengacara korban, Dian Setio Nugroho menyambut baik tuntutan 15 tahun yang dikenakan terdakwa.

Baginya tuntutan tersebut telah maksimal menurut Undang-Undang Perlindungan Anak.

"Tapi ada ketentuan lain yang menyatakan sebenarnya bahwa kalau memang dia (terdakwa) residivis hukumannya bisa ditambah sepertiga.

Selain itu juga terdapat tambahan hukuman sepertiga karena pengajar," jelas dia.

Menurut dia dari sisi rasa keadilan tuntutan jaksa sulit dipenuhi.

"Banyak para orang tua meminta terdakwa dihukum seumur hidup maupun dikebiri," papar Dian.

"Namun demikian, saya beri penjelasan ancaman pidana maksimal 15 tahun.

Tapi bisa ditambah sepertiga apabila dia (terdakwa) sebagai guru maupun residivis," paparnya.

Ia berharap majelis hakim dalam memutus perkara bisa sependapat dengan tuntutan jaksa.

Pihaknya akan mendesak JPU melakukan upaya hukum lain apabila putusan lebih rendah daripada tuntutan.

"Jika rendah, putusannya kami akan desak jaksa untuk melakukan banding maupun kasasi," tukasnya.

Sebelumnya pada 17 Januari lalu, sejumlah saksi dihadirkan dalam sidang kasus pelecehan seksual anak di bawah umur oleh Fery Octavianus Marthen di Pengadilan Negeri Semarang.

Sidang pemeriksaan saksi ini dilaksanakan tertutup karena mereka yang dihadirkan merupakan anak di bawah umur.

Saat jalannya pemeriksaan, terdakwa didampingi dua penasehat hukumnya Kusmartono dan Gandung Sarjito.

Terdakwa dikembalikan ke tahanan Pengadilan Negeri saat saksi didatangkan ke ruang sidang.

Penasehat hukum terdakwa, Kusmartono menerangkan ada dua saksi yang dihadirkan.

Kedua saksi tersebut merupakan anak-anak korban pelecehan seksual.

"Tadi juga ada bapak ibu dari anak-anak tersebut," ujarnya.

Dirinya menuturkan pemeriksaan saksi anak-anak tidak seperti pemeriksaan saksi dewasa.

Oleh karena itu, dalam pemeriksaan harus ada penanganan khusus.

"Tadi hakim copot toga saat memeriksa karena dalam penanganannya harus berhati-hati," sambung Kusmartono.

Saat pemeriksaan saksi, terdakwa dikeluarkan dari persidangan.

Hal ini bertujuan untuk menghindari rasa trauma dari saksi.

"Kebijakan dari majelis hakim memang bagus bisa memahami psikologi anak. Usia-usia seperti itu masih labil.

Takutnya kalau ketemu nanti malah menangis tidak bisa memberi keterangan," jelasnya.

Terkait tuduhan tidakan asusila yang dikenakan, kliennya tetap bersih kukuh tidak mengakui perbuatannya.

Oleh sebab itu, hal yang perlu dilakukannya adalah pembelaan sesuai dengan hukum acaranya.

"Dia (terdakwa) tetap bersih kukuh tidak mengakui," ujarnya. (rtp)

Tiru Jokowi, Fadli Zon Nyamar ke Tambaklorok Semarang, Warga Bicarakan Jokowi Tak Ditanggapi

Viral Video Siswi SMP di Kendal Merokok dan Ciuman, Kepala Sekolah Minta Maaf, Ungkap Kondisi Anak

TRAGIS! Saat Bapak Kandungnya Pulang Mabuk, Siswi SMP Ini Dipaksa Layani Nafsu Ayahnya

Sempat Disangka Kucing, Ternyata Bayi Dibuang di Tengah Sawah di Demak, Pak Kades Mengadopsinya

Berita Terkini