Di Balik Kisah dan Asal-usul Batu Sajadah di Puncak Girilangan Banjarnegara

Penulis: khoirul muzaki
Editor: galih permadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

peziarah mempraktikkan ibadah di atas batu sajadah di bukit Girilangan desa Gumelem Wetan Susukan Banjarnegara

Laporan Wartawan Tribun Jateng Khoirul Muzakki

TRIBUNJATENG.COM, BANJARNEGARA-Sajadah umumnya berbahan tekstil dengan ukuran wajar dan ringan. Karenanya, perangkat salat itu praktis dibawa kemana-mana untuk alas menunaikan salat.

Tetapi 'sajadah' di Desa Gumelem Wetan Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara ini sungguh tidak lazim.

Bukan tekstil yang membentuk perangkat ibadah itu, melainkan batu besar dari alam.

Di puncak bukit Girilangan, Desa Gumelem, berdiri sebuah makam yang diyakini menjadi tempat moksa Ki Ageng Giring, pembesar dari kerajaan Mataram.

Sedikit berada di bawahnya, sebuah lempeng batu berbentuk persegi panjang dengan pucuk oval tergeletak di sisi jalan menuju makam.

Batu itu seperti sengaja dipahat atau diratakan dan telah berubah dari bentuk aslinya.

Bentuknya pun rapi yang menunjukkan penciptaannya tidaklah sembarangan. Meski berada di tanah miring, batu tua itu masih kokoh di tempatnya.

Oleh masyarakat setempat, batu dengan lebar dan panjang seukuran sajadah serta tebal sekitar 40 cm ini diyakini sebagai alas untuk menunaikan salat.

Karena bentuk dan fungsinya itu, mereka menyebutnya sebagai batu sajadah.

"Dari dulu sudah ada di situ, tidak pernah dipindah warga,"kata Ketua Pokdarwis Gumelem Satrio

Keyakinan batu itu sebagai alas salat dikuatkan dengan posisinya yang diyakini menghadap arah kiblat. Selain dari cerita turun temurun tentang riwayat Kademangan Gumelem.

Satrio mengatakan, muasal keberadaan batu sajadah berhubungan erat dengan riwayat Ki Ageng Gumelem yang ditugasi untuk menjaga makam Girilangan, sekitar abad ke 16.

Ki Ageng Giring merupakan pembesar dari keluarga kerajaan Mataram yang jasadnya hilang saat tanah untuk meletakkan keranda itu ambles di bukit Girilangan.

Keranda itu kemudian dimakamkan di puncak bukit yang kini dikenal Girilangan (Giri Ilangan).

Raja Mataram kemudian mengutus Ki Ageng Gumelem untuk menjaga tempat hilangnya jasad Ki Ageng Giring itu. Ki Ageng Gumelem pada akhirnya didapuk menjadi Demang di Gumelem.

Menurut Satrio, Ki Ageng Gumelem dan pengikutnya yang setia menjaga makam Ki Ageng Giring inilah yang diyakini membuat tempat ibadah dari batu.

"Itu buat salat penjaganya,"katanya

Pembuatan alas salat dari batu ini pun cukup beralasan. Ibadah salat menjadi kebutuhan bagi umat Islam dimana pun berada.

Sementara di puncak bukit nan tinggi itu, sulit untuk mengakses masjid yang letaknya jauh di pemukiman.

Sebuah alas salat dari bahan alam atau batu dibuat untuk memudahkan dalam beribadah. Posisinya dihadapkan sesuai arah kiblat.

Letaknya yang tinggi dan sepi memang mendukung kekhusyukan saat beribadah.

Bahkan hingga sekarang, kata Satrio, batu itu masih dimanfaatkan untuk kepentingan ibadah. Tak jarang para peziarah menunaikan salat beralaskan batu ini.

Terlebih, tidak ada musala khusus yang dibangun di atas bukit atau komplek makam. Mereka bisa bersuci dari sumber mata air di lereng bukit di bawah tempat tersebut.

Tetapi, layaknya sajadah, batu ini hanya bisa dimanfaatkan untuk salat satu orang. Tentunya, untuk salat di atasnya, alas itu harus dipastikan suci dari hadas.

"Kalau rombongan (jamaah) biasanya salat di pendopo di bawahnya, (komplek makam ki Ageng Gumelem),"katanya.(*)

Berita Terkini