Oleh Galih Permadi
Wartawan Tribun Jateng
Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah diperkirakan jatuh pada Minggu (24/5/2020). Suasana Idul Fitri tahun ini akan sedikit berbeda dibanding tahun sebelumnya.
Ya, semua gara-gara wabah Virus Corona. Suasana puasa Ramdhan dan Idul Fitri bakal tak senyaman dulu. Terutama bagi warga di daerah-daerah tujuan mudik yang hingga kini belum ada kasus positif corona.
Belum waktunya arus mudik saja, beberapa desa sudah melakukan “lockdown” ala kampung. Itu yang terlihat selama perjalanan saya dari Purworejo menuju Semarang.
“Lockdown, Lawan Corona!”, “Maaf Jalan Ini Ditutup! Cegah Corona”, “Pemudik Periksa Dulu ke Puskesmas Sebelum Masuk Kampung!”, itulah sekian dari banyak spanduk yang membentang menutupi akses jalan masuk desa. Bahkan peraturan desa tak lupa dipampangkan.
Kekhawatiran warga daerah tujuan mudik melakukan isolasi wilayahnya tentu beralasan. Mereka hanya ingin sehat, tek terinfeksi Corona. Sudah banyak contoh pemudik pulang lalu dinyatakan positif Corona.
Baru-baru ini, warga Desa Juron, Kecamatan Nguter, Sukoharjo harus menutup akses jalan keluar masuk desa setelah seorang pemudik dari Surabaya dinyatakan positif corona. Tentu tidak berlebihan jika beberapa desa melakukan hal serupa sebagai langkah pencegahan.
“Kalau mudiknya naik motor gimana?,” tanya seorang teman. Yang menjadi kekhawatiran saat ini adalah bukan mudik naik apa, tetapi apakah di dalam tubuh kita terbebas dari Corona atau tidak.
“Musuh” yang dihadapi kita semua adalah sesuatu yang tak terlihat. Butuh tes kesehatan dengan proses dan waktu yang tak sebentar untuk membuktikan apakah di dalam tubuh ada virus atau tidak. Bahkan orang tanpa gejala pun bisa dinyatakan positif corona.
Guru Besar Statistika Universitas Gadjah Mada, Dedi Rosadi memprediksi, penyebaran virus corona di Indonesia akan mencapai puncaknya pada 7-15 April, dan selesai pada akhir Mei 2020. Sejauh ini, prediksi yang dikeluarkan Dedi adalah yang paling kecil diantara perhitungan lain yang sudah dipublikasikan. Dedi menyebut angka proyeksi optimistis hanya sekitar 6.200 kasus.
“Perkiraan optimistis kami itu enam ribu, sekitar itu. Kemudian yang prediksi moderat dengan mempertimbangkan faktor tertentu, sekitar 12 ribu, dan yang pesimistis sekitar 18 ribu. Tetapi kami lebih senang mempublikasikan yang enam ribu ini, karena dari proyeksi kami sampai saat ini cukup baik menggambarkan kenyataan,” kata Dedi seperti dikutip dari VOA Indonesia.
Namun, lanjut Dedi, angka itu memiliki syarat yang pelaksanaannya cukup berat di lapangan, yaitu kepatuhan masyarakat untuk tidak mudik sejak saat ini hingga Idul Fitri. ”Asumsi kita, anjuran itu dilaksanakan dengan taat. Asumsi kami begitu, dalam membuat model. Jadi, angka itu sangat optimis, tetapi dengan tambahan. Anjuran pertama, masyarakat tidak pulang, Lebaran juga tidak pulang dan sebagian besar taat,” kata Dedi.
Ya, perantau harus berfikir ulang dua kali untuk memutuskan pulang ke kampung halaman. Toh, dengan kecanggihan teknologi sekarang ini, kata maaf dan memaafkan bisa mudah tersampaikan dengan adanya alat komunikasi telepon.
Tentu tak ingin membuat muka keluarga besar di kampung halaman malu jika mudik hanya menyebarkan penyakit. Buat keluarga di kampung halaman, tolong beritahu dan beri pemahaman ke mereka, jika tak perlu mudik tahun ini. Dan berharap bisa berkumpul kembali setelah pagebluk ini berakhir. Lebih baik tak pulang daripada bikin malu, meski tak pulang rindu.(*)