TRIBUNJATENG.COM, NEW YORK - Senin (20/4/2020) Wall Street dikabarkan anjlok menutup perdagangan.
Hal ini disebabkan penurunan minyak yang semakin meningkatkan kekhawatiran akan kerusakan ekonomi akibat pandemi virus corona (Covid-19).
Dikutip dari Reuters, indeks Dow Jones Industrial Average ditutup turun 2,5 persen atau 592,05 poin atau ke 23.650,44.
Indeks S&P 500 turun 1,8 persen menjadi 2.823,16.
Nasdaq Composite turun 1 persen menjadi 8.560,73.
Saham Boeing turun lebih dari 6 persen, paling dalam di indeks Dow Jones.
Sementara saham Chevron dan Exxon Mobil masing-masing turun lebih dari 4 persen.
• Takut Fitnah atas Hubungan Atta Halilintar dan Aurel, Umi Gen Halilintar Minta Mereka Segera Menikah
• Sanitiser Nama Bayi yang Lahir di Tengah Pandemi Corona
• 4 Bulan Keluar dari Penjara, Residivis Ini Terpaksa Didor Karena Melawan Setelah Curi Mobil Pikap
• Hari Kartini: Kisah RA Kartini yang Menolak Disebut Bangsawan
Indeks energi S&P anjlok 3,7 persen setelah harga minyak West Texas Intermediate (WTI) pengiriman Mei 2020 ke level US$ 37,63 per barel.
Permintaan minyak mentah telah mengering dengan miliaran orang kini tinggal di rumah di seluruh dunia akibat pandemi Covid-19.
"Apa yang pasar energi katakan kepada Anda adalah bahwa permintaan tidak akan kembali dalam waktu dekat, dan ada kelebihan pasokan," kata Kevin Flanagan, head of fixed income strategy WisdomTree Asset Management.
Dia mengatakan harga minyak yang lebih rendah dapat mendorong ekonomi jika orang membeli bahan bakar lebih banyak. Masalahnya, " itu mengharuskan orang untuk keluar."
Tahun ini, indeks energi telah kehilangan 45 persen, sejauh ini merupakan yang terburuk di antara 11 sektor.
Bahkan harga minyak terus melorot tajam hingga berada di teritori negatif atau di bawah nol. Ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah sejak minyak ditransaksikan di bursa berjangka.
Harga minyak dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman Mei 2020 di Nymex berada di level -US$ 37,63 per barel pada Selasa (21/4) pukul 03:10 WIB atau turun 306%.
Harga minyak sempat menyentuh titik terendah sepanjang masa -US$ 40,32 per barel.
Penurunan harga minyak disebabkan kelebihan pasokan minyak AS ditambah dengan aktivitas ekonomi dan industri yang terhenti akibat pandemi virus corona.
Kesepakatan untuk memangkas produksi oleh OPEC sepekan lalu ternyata sudah terlambat untuk menghadapi turunnya sepertiga permintaan global.
Sementara itu, harga minyak mentah Brent juga merosot, tetapi kontraksinya tak sekuat WTI. Harga minyak Brent turun 9% menjadi US$ 25,57 per barel.
Kemarin, para trader keluar dari kontrak berjangka Mei yang bakal kedaluarsa atau berakhir hari ini, Selasa (21/4), dan terutama karena kurangnya permintaan untuk minyak aktual.
Ketika kontrak berjangka berakhir, trader harus memutuskan apakah akan mengambil pengiriman minyak atau mengambil posisi ke dalam kontrak berjangka lain di bulan berikutnya.
Sehingga, harga minyak WTI kontrak pengiriman Juni terlihat lebih aktif dan diperdagangkan di level yang lebih tinggi dari US$ 21,6 per barel. Spread antara kontrak Mei dan Juni sempat melebar lebih dari US$ 60,76 per barel, menjadi yang terlebar sepanjang sejarah untuk kontrak bulanan terdekat.
Dengan perdagangan harga minyak AS di wilayah negatif, berarti penjual harus membayar pembeli untuk pertama kalinya agar bisa mengambil minyak berjangka.
Namun, tidak jelas apakah ini akan mengalir ke konsumen, yang biasanya melihat harga minyak yang lebih rendah akan tercermin ke dalam turunnya harga bahan bakar minyak.
"Sehingga ini akan mempengaruhi ekonomi di seluruh dunia," ujar John Kildff, mitra di hedge fund Again Capital LLC di New York, seperti dilansir Reuters.
Banyak Tekanan
Dari awal tahun, harga minyak telah anjlok cukup dalam, karena dampak dari pandemi virus corona (covid-19) dan gangguan dalam perjanjian OPEC+.
Di Asia, perbankan sudah enggan memberikan kredit kepada pedagang komoditas karena adanya risiko default yang besar.
Baca Juga: Harga minyak anjlok, saham-saham migas berguguran
Data ekonomi global yang lemah juga menekan harga minyak. Ekonomi Jerman berada dalam resesi parah. Pemulihan ini tidak mungkin cepat karena pembatasan yang harus dilakukan terkait virus corona.
Ekspor Jepang di bulan Maret juga mengalami kontraksi terbesar dalam hampir empat tahun terakhir. Ini karena pengiriman yang berhubungan dengan AS, termasuk mobil, turun cukup cepat sejak 2011.
Turunnya harga minyak juga berdampak ke sejumlah perusahaan di sektor ini. Halliburton Co, yang memiliki sebagian besar bisnis minyak di Amerika Utara memiliki nasib tak jauh berbeda dengan saingannya Schlumberger yang telah mengalami penurunan nilai sepanjang kuartal pertama tahun ini. (kontan.co.id)