Berita Nasional

Ternyata Begini Nasib ABK Indonesia di Kapal China, Istirahat Tak Jelas & Diperlakukan Diskriminasi

Editor: m nur huda
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Para ABK di salah satu kapal penangkap ikan berbendera China.

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Kondisi para anak buah kapal ( ABK) dari Indonesia yang berada di kapal ikan asing, terutama asal China, saat ini tengah menjadi sorotan.

Pasalnya, belum lama ini beredar video yang menunjukkan adanya ABK asal Indonesia yang meninggal dunia di kapal China.

Jenazahnya kemudian dilarung ke laut.

Sebuah media asal Korea Selatan memberitakan video jenazah ABK Indonesia di Kapal China dibuang ke laut. (Istimewa Youtube)

Setelah video pelarungan jenazah itu viral, diketahui bahwa para ABK asal Indonesia mendapat perlakuan yang tidak semestinya saat bekerja di kapal.

Tidak hanya bekerja tanpa batas waktu, mereka juga mendapat diskriminasi dari ABK negara lainnya, terutama China.

Seperti apa? Berikut paparannya:

Tak ada batas waktu

Salah satu ABK kapal Taiwan yang berlayar di perairan Gabon, Afrika, Irman Ubaidillah mengaku bahwa dirinya tak memiliki batas waktu selama bekerja.

Semakin banyak tangkapan ikan, maka jam kerjanya pun semakin panjang sehingga menyebabkan jam tidur yang minim.

Hal tersebut, katanya, sangat tergantung dengan kebijakan kapten kapal.

"Sistem kerja juga lebih dari satu. Selain menangkap, menyortir, dan mengepak (ikan), kadang ada pekerjaan lain seperti jaga kapal, bantu pekerjaan engineering, bersih-bersih kapal dan seterusnya," kata Irman dalam sebuah diskusi online, Minggu (10/5/2020).

Diskriminasi

Irman mengatakan, fisik para ABK Indonesia sangat rentan dimanfaatkan oleh para ABK China sehingga pekerjaannya lebih banyak.

Para ABK China, kata dia, lebih banyak mengatur dan memberi perintah saja, sedangkan yang bekerja adalah ABK Indonesia.

"Jika kami lelet kerja, sudah pasti dapat perlakuan kurang baik. Ditendang, ditempeleng. Itu makanan sehari-hari kami," kata dia.

Mereka mengaku harus bekerja selama 18 jam per hari, beberapa di antaranya harus bekerja selama dua hari berturut-turut (BBC Korea Selatan)

Tak hanya itu, persoalan makan juga menjadi masalah.

Setiap pagi, katanya, ia hanya bisa makan nasi atau bubur dengan tambahan ikan asin. Itu pun, jika ada.

Siangnya, mereka hanya makan ikan yang sudah lama ditangkap dan bukan ikan segar.

Fasilitas pendukung pekerjaan yang didapatkan pun sangat minim.

Dalam satu bulan, ia mengaku hanya mendapat sepatu boots dan sarung tangan plastik.

Termasuk juga kelengkapan P3K jika ada yang sakit atau terluka sangat sulit didapatkan.

"Kadang juga gunakan obat seadanya jika terjadi kecelakaan kayak ketusuk duri ikan dan lainnya hanya dibiarkan saja," kata dia.

Tak dibiarkan istirahat

Hal senada disampaikan Zaenudin, ABK China yang berlayar di perairan Fiji.

Ia juga bekerja tidak memiliki jam kerja pasti karena tergantung banyak-sedikitnya tangkapan ikan.

"Biasanya sampai 17 jam. Untuk jam makan bergilir saat kerja. Begitu makan selesai, langsung bergantian dan tidak ada istirahat. Setelah selesai jam istirahat biasanya pukul 09.00 pagi sampai 12.00 siang, lalu bekerja lagi sampai 15.00, istirahat sampai 16.00 dan bekerja lagi," kata dia.

Ia mengatakan, mandor di kapal tidak menyukai apabila ada ABK yang beristirahat.

Jika ada ABK Indonesia yang beristirahat, mereka akan diminta bekerja lagi dan tak segan mendorong atau memukul kepalanya dari belakang apabila bekerja lambat.

Menu makan dan ketersediaan air minum juga sangat kurang.

Ia dan ABK Indonesia lainnya bahkan memilih mandi menggunakan air laut tanpa dibilas air tawar agar air tawar tersebut bisa digunakan untuk minum.

Lebih parahnya, ABK Indonesia juga masih tak bisa beristirahat ketika kapal bersandar ke daratan.

"Kalau kapal sandar di pelabuhan, ABK Indonesia disuruh jaga kapal. Kebetulan ada empat orang, di darat dua orang, dua jam suruh jaga. ABK lainnya bebas tugas apalagi orang China," kata dia.

Para Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia ketika bekerja di kapal penangkap ikan yang memburu hiu. (KFEM via BBC)

Permasalahan sistem gaji

Persoalan gaji pun tak memadai karena dalam perjanjian ia hanya mendapat gaji 405 dollar AS per bulan dengan sistem pembayaran per tiga bulan.

Gaji tersebut dikirim melalui perusahaan yang menyalurkannya.

Uang jaminan dari gajinya dipotong 100 dollar oleh perusahaan selama 8 bulan.

Sementara itu, Wibowo yang memiliki pengalaman ABK selama 10 tahun dan pernah mengikuti program ABK magang di Jepang selama tiga tahun mengatakan, apa yang dikeluhkan ABK semuanya sama.

Utamanya terkait jam kerja, jam tidur, makanan, dan air.

Hal tersebut juga terjadi pada ABK yang mengikuti program magang resmi dari pemerintah seperti dirinya.

Usai mengikuti program magang, Wibowo pun menjadi ABK ke Hawaii selama 2 tahun.

Saat itu, yang menjadi keluhannya adalah masalah gaji yang menggunakan sistem delegasi karena bukan terima gaji di atas kapal.

Sistem tersebut mengirim gaji melalui perusahaan penyalur di Indonesia dengan kurs dollar yang tidak sesuai.

Hal tersebut dinilainya sangat merugikan ABK.

"Salah job juga banyak. Saya pernah salah job ke Libya di PKL-nya ikan tuna long line, setelah di sana bekerja sebagai illegal logging solar (jual beli minyak tengah laut). Risiko sangat besar, job tidak sesuai," kata dia.

Dari pengalamannya, ia juga mempertanyakan mengapa ABK Indonesia bisa lolos di berbagai negara transit kapal yang disinggahi padahal hanya memakai visa turis.

Mereka yang ingin pulang pun, kata dia, tidak tahu dengan apa yang harus dilakukan.

Namun saat ini, Wibowo merasa bersyukur bahwa dirinya sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di Taiwan sebagai buruh pabrik.(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Nestapa ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing, Diskriminasi hingga Tak Dibiarkan Istirahat"

Berita Terkini