Focus

Bukan Negeri Dongeng

Penulis: rustam aji
Editor: muslimah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

RUSTAM AJI wartawan Tribun Jateng

Bukan Negeri Dongeng

Oleh Rustam Aji (Wartawan Tribun Jateng)

Pandemi Covid-19 telah mengubah kondisi banyak negara. Sejak awal kemunculan kasus Covid-19 di China akhir Desember 2019 hingga akhir Agustus 2020 ini, telah banyak negara mengalami resesi ekonomi. Bahkan, kini Indonesia pun tengan di ujung resesi.

Namun, untuk Indonesia sebuah pengecualian. Kenapa? Karena Indonesia memiliki cari sendiri untuk menanggulangi corona.

Bila negara lain pengendalian covid-19 dengan melakukan lockdown, namun tidak demikian dengan Indonesia.

Indonesia lebih memilih untuk menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Penerapan ini pun tergantung dari tingkat kegentingan kasus covid-19 di masing-masing daerah.

Karena itu, tak berlebihan jikan hingga kini gelombang pandemi pertama di Indonesia sejak diumumkan oleh Presiden Jokowi pada Maret lalu, tidak kunjung surut.

Terlepas dari itu, ada yang lebih menarik dari apa yang dilakukan pemimpin negeri ini di tengah perlambatan kondisi ekonomi negara, di mana semua sektor kehidupan terdampak covid-19.

Bak negeri dongeng, rakyat kini tengah dibahagiakan dengan kucuran-kucuran dana dari program pemerintah sebagai bagian dari penanggulangan pandemi corona.

Segalanya disubsidi oleh pemerintah.

Karena covid-19 ini pemerintah telah mengeluarkan semua jurus, ada yang namanya BLT desa, ada yang namanya Bansos, ada yang namanya subsidi listrik, digratiskan untuk yang pelanggan 450 VA, dan bayar 50% untuk yang 900 VA.

Nah ada bantuan sembako, ada yang namanya subsidi bunga, terus kemarin Banpres Produktif.

Sebelum diluncurkannya Banpres produktif, subsidi upah pegawai swasta untuk yang bergaji di bawah Rp 5 juta, juga mendapat kucuran dana hingga Rp 2,4 juta sampai empat bulan ke depan.

Kita melihat Indonesia bukanlah negara kaya raya, seperti halnya Brunei Darussalam atau Arab Saudi yang kaya minyak, namun keberanian pemimpin negeri dalam membagi-bagikan dana ke masyarakat di tengah pandemi sungguh sebuah kebijakan yang berani.

Siapa sangka, pemimpin yang begitu pehatiannya dan rela membagi-bagikan dana ke rakyatnya, ternyata tidak hanya ada di sebuah negeri dongeng. Namun benar terjadi di Indonesia.

Di balik itu semua, kita sebagai rakyat, tentu tidak bisa menelan mentah-mentah itu sebagai euphoria kebahagiaan. Sebab, untuk itu semua, pemerintah ternyata menaikkan anggaran penanganan Covid-19 dari Rp 405,1 triliun menjadi Rp 677,2 triliun.

Sungguh jumlah dana yang tidak sedikit. Apalagi, di tengah utang luar negeri (ULN) yang terus meningkat. Bank Indonesia (BI) mencatat posisi ULN RI menjadi sebesar 408,6 miliar dollar AS pada kuartal II 2020. Angka utang luar negeri tersebut setara dengan Rp 6.047 triliun (kurs Rp 14.800 per dollar AS).

Itulah yang mengkhawatirkan. Utang negara makin menumpuk, pada sisi lain pemimpin kita makin “royal” membagikan dana. Siapa yang kelak akan membayar utang itu? Jangan-jangan, pada akhirnya kita juga yang menanggungnya.

Pertengahan Juni lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan adanya risiko kecurangan bila pemerintah tak teliti dalam menganggarkan biaya penanganan dan penanggulangan pandemi covid-19.

Salah satunya disebabkan oleh perluasan wewenang Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Sehingga menimbulkan risiko penyalahgunaan wewenang karena tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dan check and balance.

Selain itu, belum dibahasnya skema pertanggungjawaban Keuangan Negara dalam penanganan pandemi covid-19.

Lalu, tidak ada pembatasan jangka waktu serta syarat dimulai dan diakhirinya pemberlakuan kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi.

Selain risiko kecurangan, risiko lainnya yang dapat terjadi akibat ketidakhati-hatian pemerintah menurut BPK ialah pelebaran defisit anggaran tanpa batasan tertentu, tanpa memperhatikan prinsip periodisitas dan pembiayaan utang dalam jumlah besar. Pada gilirannya berpotensi meningkatkan risiko kesinambungan fiskal dan pada gilirannya dapat mengganggu kedaulatan negara.

Nah, melihat kondisi itu, semoga subsidi-subsidi yang dikucurkan betul-betul telah dipertimbangkan oleh pemerintah, terutama terkait dampaknya. Sebab, tentu kita tidak ingin, generasi mendatang yang tak ikut menikmati subsidi-subsidi di era pemerintahan sekarang hanya kebagian membayar utang. (*)

Berita Terkini