Focus

Mimpi Makan Roti Enak

Penulis: deni setiawan
Editor: muslimah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Deni Setiawan

Mimpi Makan Roti Enak

Tajuk oleh Deni Setiawan

BILA kamu disuruh memilih, bermimpi makan roti enak atau makan ketela yang nyata sudah ada?

Pertanyaan itu terlontar dalam sebuah obrolan warga di lingkungan rukun tetangga (RT) Desa Ngareanak, Singorojo, Kendal, beberapa malam lalu.

Bagi saya, itu mudah dijawab bila tanpa dicerna, meski sebenarnya ada banyak maksud terkait kehidupan sehari-hari, baik individu maupun kelompok.

Tentu ada beragam cara berpikir, juga tafsirannya. Termasuk ketika seseorang sesungguhnya memang telah bermimpi makan roti enak, dalam tidurnya.

Dimana berbagai macam mimpi telah ditafsirkan oleh sang penafsir bernama Ibnu Sirin, seperti halnya masyarakat Jawa kerap menyebut ramalan Jayabaya.

Jika tak ingin neko-neko, dia lebih baik menyantap ketela yang nyata ada dan membuang jauh impian bisa memakan roti enak.

Namun ketika dikaitkan dengan ambisi, secara manusiawi tentu menginginkan bisa makan roti yang enak, meskipun pada kenyataan harus bersusah payah dan belum ada jaminan dapat terwujud.

Dan biasanya di tahun-tahun politik, seperti pemilihan kepala daerah, akan muncul asupan pemberian mimpi itu kepada masyarakat, dimana nantinya mereka bakal bisa makan roti enak.

Caranya, para calon akan menyelipkannya melalui visi-misi ataupun janji kampanye. Wujudnya tentu bukan berupa roti sesungguhnya, melainkan konsep kesejahteraan kepada masyarakat ketika dirinya terpilih.

Lalu sudahkah hal tersebut terealisasikan ketika sudah terpilih? Bagi segelintir orang mungkin sudah.

Suatu konsep kesejahteraan yang hingga saat ini masih abu-abu dan jadi pertanyaan besar apa yang menjadi takaran seseorang sudah masuk kategori sejahtera, terutama dari sisi ekonomi.

Meski tak ditampik pula, belum sejahteranya seseorang disebabkan banyak faktor, bisa dikarenakan tingkah laku atau secara nyata memang berkondisi demikian.

Dan sudah berapa kalipun berganti pemimpin, hal tersebut masih menjadi pekerjaan rumah yang kemudian diwariskan ke pemimpin berikutnya.

Toh masih saja ditemukan warga yang hidupnya mengalami kesusahan, serba terbatas. Infrastruktur lingkungan yang sudah lebih baik saja, belum jadi jaminan warganya dicap sudah sejahtera.

Jika sudah, mengapa masih kerap dijumpai mereka saling berebut bantuan sosial, pusing mencari pekerjaan, hingga membludaknya peserta ketika ada seleksi CPNS.

Jangan-jangan sejauh ini pemimpin tersebut sekadar mengacu pada laporan data, enggan rutin blusukan langsung ke lingkungan untuk melihat kondisi sesungguhnya.

Jikapun diaactionbila sudah muncul di media sosial ataupun pemberitaan media massa.

Ya, kondisi nyata di masyarakat dan sekali lagi, hingga saat ini masih abu-abu karena sesungguhnya susah dijadikan acuan. Ini kiranya perlu perhatian serius bagi para calon pemimpin, utamanya di Pilkada Serentak 2020.

Tak perlulah memberi mimpi berupa janji lisan apalagi tertulis, hendak memberikan roti yang enak kepada masyarakat. Cukup bukti berupa tindakan tanpa desakan di masa kepemimpinannya.

Bahkan dalam hukum Islam, janji adalah utang. Seperti tercantum dalam HR Bukhari, 1870 dan Muslim, 1370.

“Barangsiapa yang tidak menepati janji seorang muslim, maka dia mendapatkan laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya taubat dan tebusan.”(*)

Berita Terkini