TRIBUNJATENG.COM, TEGAL – Datangnya rebo wekasan atau rabu pamungkas akan disambut oleh masyarakat di Jawa dengan berbagai doa dan tradisi tolak bala.
Rebo wekasan adalah rabu terakhir dalam bulan Safar yang dipercaya mendatangkan bencana dan sumber penyakit.
Pada tahun ini rabu wekasan bertepatan, pada Rabu (14/10/2020) kemarin.
Di Jawa Tengah bagian barat, tepatnya di wilayah Tegal dan Brebes, ada tradisi tolak bala yang turun temurun masih dilakukan oleh masyarakat.
Masyarakat pada rebo wekasan, setelah sholat shubuh, akan membagikan nasi langgi kepada para tetangga dengan harapan akan terhindar dari bencana dan penyakit.
Sejarawan, Wijanarto mengatakan, pada rebo wekasan biasanya masyarakat akan melakukan doa dan ritual tradisi untuk tolak bala.
Dimulai ba’da maghrib malam rabu, ada pembacaan surah Yasin, doa dan sholat tolak bala.
Kemudian diakhiri dengan tradisi bersedekah bubur merah atau nasi langgi ba’da shubuh.
Jika di Tegal dan Brebes sedekah dilakukan dengan membagikan nasi langgi kepada tetangga.
Menurut Wijanarto, masyarakat percaya doa tolak bala tidak hanya dimanifestasikan dengan hubungan vertikal dengan Tuhan.
Namun dimanifestasikan juga dengan hubungan horizontal, sesama manusia.
Ia mengatakan, sedekah ini pula yang menjadikan masyarakat pada rebo wekasan selalu merasa senang.
Karena pada pagi hari sudah ada yang mengantarkan makanan.
“Ini yang paling menarik. Tolak bala diwujudkan tidak hanya doa, tetapi juga dengan sedekah sosial. Jika kita amati, pagi setelah sholat shubuh masyarakat akan mengirimkan makanan,” kata Wijanarto kepada tribunjateng.com.
Wijanarto menjelakan, nasi langgi yang dibagikan pada rebo wekasan akan dihidangkan secara sederhana.
Lauknya adalah sayur-sayur mentah yang diurap, seperti terong, kacang panjang, dan mentimun. Kemudian ditambahkan lauk ikan gesek, tempe kukus, dan suwiran telur goreng.
Ia mengatakan, urap menjadi ciri khas dalam nasi langgi yang dibadikan kepada masyarakat.
Karena berbahan dasar santan atau kelapa yang artinya putih atau kembali ke suci.
Menurut Wijanarto, masyarakat di Tegal dan Brebes juga menyebut nasi langgi dengan nama nasi adep-adep.
Adep itu bermakna Madep mantep menghadapat Sang Khalik.
“Tradisi ini mempunya nilai agar masyarakat memperhatikan lingkungan. Jadi tetangga menjadi bagian penting untuk berbagi,” jelasnya.
Tradisi Lain di Tegal
Wijanarto mengatakan, ada tradisi tolak bala yang juga menarik selain sedekah nasi langgi di wilayah Tegal.
Masyarakat di Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal, memiliki tradisi tolak bala pada rebo wekasan dengan berziarah ke makam Syekh Maulana Maghribi.
Ia mengatakan, ada sebuah makam yang dipercayai adalah makam Syekh Maulana Maghribi di Bukit Sitanjung Lebaksiu, Kabupatan Tegal.
“Jadi kalau dalam kondisi normal (red, tidak pandemi Covid-19), dari wilayah Patung GBN Lebaksiu sampai Bukit Sitanjung itu ramai. Ramai pedagang, ramai peziarah, dan ramai oleh aktivitas masyarakat pada rebo wekasan,” ungkapnya.
Menurut Wijanarto, dari tradisi tersebut kemudian menjadikan Bukit Sitanjung sebagai wisata religius untuk berziarah.
Ia mengatakan, pada rebo wekasan masyarakat akan berdoa kepada Allah SWT meminta keselamatan dan terjauh dari bencana.
Namun ia menyayangkan terjadinya deviasi.
Upaya untuk meminta keselamatan berubah menjadi ajang permintaan jodoh.
“Justru terjadi deviasi, upaya meminta keselamatan berubah menjadi ajang permintaan jodoh,” ungkapya. (fba)