TRIBUNJATENG.COM, SOLO - Sidang praperadilan yang diajukan Lukas Jayadi, tersangka penembakan mobil Alphard milik bos tekstil memasuki agenda pembuktian digelar di PN Solo, Rabu (20/1/2021).
Pihak Lukas Jayadi menghadirkan 5 orang saksi dan seorang ahli. Namun, 2 di antara saksi ditolak Hakim Tunggal Bambang Hermanto, lantaran memiliki hubungan darah dengan tersangka.
Dalam persidangan, ahli yang diajukan pemohon, Dr Mompang L Panggabean yang merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia menyampaikan, adanya suatu tindak pidana tidak bisa dilepaskan begitu saja sebabnya.
Hal itu, lanjut dia, tindakan itu tidak muncul secara alami begitu saja seperti kejadian bencana alam.
"Juga harus dilihat sebagai suatu kausalitas. Ada hubungan sebab-akibat antara apa yang sebelumnya merupakan penyebab dari timbulnya suatu akibat," jelasnya.
Sehingga, lanjut dia, dalam mengungkapkan suatu tindak pidana kausalitas sangat perlu dicermati oleh semua pihak.
"Terutama oleh pihak penegak hukum (kepolisian). Karena di tangan penegak hukum itulah kemudian nantinya akan ditentukan," terangnya.
Dia menjelaskan, dalam penegakan hukum itu bagaimana bisa memberikan rasa keadilan kepada semua pihak.
"Jadi bukan hanya kepada pihak pelapor dan pihak terlapor. Tapi juga pihak masyarakat luas," ungkapnya.
Dia melihat, proses hukum tersangka Lukas Jayadi ada beberapa kerancuan.
"Misalnya dalam hal mereka menyatakan pelaku tertangkap tangan. Tetapi terjadi inkonsistensi ketika mereka membuat surat perintah penangkapan," tuturnya.
Padahal, lanjutnya, hal itu tidak dibutuhkan dalam hal tertangkap tangan. Begitu juga, dia melihat ada di dalam dokumen disebutkan adanya gelar perkara.
"Padahal untuk tertangkap tangan, dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 menyatakan bahwa gelar perkara itu tidak dilakukan jika pelakunya tertangkap tangan," jelasnya.
Menurutnya, ada kesimpangsiuran. Artinya apa yang diatur dalam Perkap Nomor 6 Tahun 2019 kalau dikatakan tertangkap tangan, seharusnya bisa dibuktikan bahwa memang itu tertangkap tangan.
"Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan tertangkap tangan itu sajalah yang juga dilakukan dalam proses pemeriksaan," jelasnya.
Sementara, pengacara Lukas Jayadi, Sandy Nayoan menyampaikan, dalam Perkap Nomor 6 Tahun 2019 diwajibkan tidak ada penyalahgunaan kewenangan.
"Maka, hal itu perlu kecermatan, ketelitian, dan ketepatan. Yakni dalam penerapan pasalnya, ketelitian pasal, dan ketelitian dalam penanganan perkara," jelasnya.
Menurutnya, dalam persidangan pihaknya sudah ungkap hal-hal dan fakta-fakta yang sudah diperoleh.
"Keterangan dan berkas yang kita miliki kita uraikan semua di dalam persidangan," ucapnya.
Dia berharap, dengan menghadirkan keterangan ahli diharapkan hakim bisa melakukan penelitian dan pengujian berdasarkan fakta.
"Kita membutuhkan lembaga yang luar biasa ini.
Hakim akan menilai sesuatu fakta persidangan.
Hakim lah nanti yang menentukan apakah prosedur, tahapan, yang telah dilaksanakan oleh pemeriksa (kepolisian) apakah sudah sesuai aturan yang berlaku," jelasnya.
Karena, lanjut dia, untuk mencapai 2 alat bukti dalam menentukan seseorang sebagai tersangka, semua ada prosesnya.
"Prosesnya tidak boleh lompat-lompat. prosesnya harus jalan. Dan nanti hasilnya dari yang mulia hakim," terangnya.
Terpisah, AKP Rini Pangastuti mewakili pihak termohon dalam hal ini Polresta Solo menyampaikan, pihaknya menolak dua saksi dari pemohon lantaran memiliki hubungan darah dengan tersangka.
"Ahli tadi menyampaikan, untuk surat penyitaan harus ada penetapan dari Ketua PN setempat," jelasnya.
Dia menyampaikan, dalam proses penetapan tersangka sudah sesuai prosedur.
"Dalam penyitaan, sudah ada surat perintah penyitaan. Juga sudah ada penetapan dari Ketua PN terkait penyitaan," tandasnya. (kan)