TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Kota Semarang selalu menjadi perhatian penuh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang.
Kepala DP3A Kota Semarang, M Khadik mengatakan, kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Semarang berangsur menurun setiap tahun. Dia mencatat angka kekerasan pada 2019 lalu mencapai 226 kasus. Angka tersebut turun pada 2020 menjadi 164 kasus.
Angka tersebut mencakup kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan terhadap perempuan, kekerasan dalam pacaran, dan anak yang berhadapan dengan hukum.
"Dari data 164 kasus ternyata 107 diantaranya merupakan KDRT," sebut Khadik, Rabu (31/3/2021).
Menurut Khadik, angka tersebut masih cukup tinggi meski setiap tahun mengalami penurunan. Penurunan kasus bisa saja karena memang benar-benar turun atau karena masih ada warga yang belum berani melaporkan kejadian kekerasan yang dialami.
"Sebetulnya banyak kasus yang tidak terlaporkan, ini ibarat fenomena gunung es," ujarnya.
Maka, sambung Khadik, persoalan perlindungan anak dan perempuan butuh sosialisasi lebih masif terutama bagaimana cara melapor apabila terjadi tindak kekerasan.
Dia meminta masyarakat tidak takut melapor jika mengalami tindak kekerasan. Warga dapat melapor melalui hotline 112. Nantinya, laporan tersebut akan diteruskan kepada DP3A untuk segera ditindaklanjuti. Bahkan, jika kasus itu masuk ke aparat penegak hukum pun akan didampingi oleh DP3A.
Di sisi lain, guna mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak, DP3A membentuk Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA). Saat ini pihaknya telah memiliki JPPA di 46 kelurahan dengan melibatkan tim penggerak PKK, LPMK, karang taruna, forum anak, ketua RT/RW, Babinsa, dan Babinkamtibmas.
"Kami sedang roadshow ke kelurahan untuk pembentukan JPPA karena target kami harus ada JPPA di 177 kelurahan," tambahnya.
Lebih lanjut, Khadik menyampaikan, JPPA akan berperan aktif mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak sekaligus sosialisasi kepada masyarakat untuk melapor jika menjadi korban kekerasan. (*)