TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dilakukan dalam rangka pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN oleh Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia (BKN RI), masih memunculkan sejumlah kontroversi.
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Giri Suprapdiono, mengaku heran, dalam pengabdiannya selama 16 tahun di KPK dinyatakan tidak lulus TWK. Bahkan, Giri sampai membawa prestasi yang diraihnya, di mana pada Desember 2020, dia mendapat penghargaan dari Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai peserta diklat tim terbaik bersama direktur seluruh lembaga.
"Saya mendapat Makarti Bhakti Nagari Award Desember 2020 tapi Maret 2021 saya dinyatakan tidak lulus (TWK)," kata Giri dalam acara Polemik Trijaya, Sabtu (8/5).
Dia pun meyakini ke-74 nama termasuk dirinya sudah tidak diinginkan lagi berada di KPK"Saya berkeyakinan hasil tes itu tidak signifikan dan kami-kami ini memang tidak diinginkan melanjutkan pemberantasan korupsi di negeri ini," kata Giri.
Giri Suprapdiono sendiri mengonfirmasi dirinya menjadi orang yang juga tak lolos seleksi."Sudah dibuka dan diperlihatkan kepada beberapa pegawai. Jadi beberapa pejabat KPK yang struktural membuka lembaran yang berisi kesimpulan penilaian tersebut dan dari mereka lihat salah satunya namanya saya," katanya.
Dia membeberkan ke-75 orang tersebut diisi oleh sejumlah pejabat di KPK, di antaranya 8 pejabat eselon."Ada satu pejabat eselon 1, kemudian 3 pejabat eselon 2 saya Direktur Sosialisasi Kampanye Antikorupsi, kemudian Kepala Biro SDM, kemudian Direktur Pembinaan Jaringan Antarkomisi, di eselon 3 ada Kabag Perancangan Perundang-undangan dan Kabag SDM dan sebagainya," tambahnya.
"Yang menarik adalah hampir semua Kasatgas yang berasal dari KPK; tujuh kasatgas di penyidikan dan dua kasatgas di penyelidikan ada di 75 itu ada, dan seluruh pengurus inti dari wadah pegawai," kata Giri.
Para kasatgas tersebut, dikatakan Giri, tengah menangani kasus-kasus besar, di antaranya Novel Baswedan, Andre Nainggolan, dan penyidik lainnya."Dan mereka sedang menangani kasus-kasus yang mungkin tidak disampaikan ke publik. KPK kan fokusnya pada kasus-kasus besar," pungkasnya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dilakukan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ICW mengatakan tes tersebut tak dimaksudkan untuk menambah wawasan kebangsaan."Jadi saya sih menyebutnya tes abal-abal saja karena kalau kita sebut TWK nanti akan mengurangi spirit TWK sebenarnya," kata Koordinator ICW Adnan Topan Husodo dalam diskusi Polemik Trijaya Dramaturgi KPK, Sabtu (8/5).
Adnan mengatakan situasi KPK sekarang tidak lepas dari situasi-situasi sebelumnya, yakni ketika UU KPK yang baru disahkan."Sehingga tes yang kemarin dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan menurut kita tak masuk akal dan melecehkan atau tak relevan, sebenarnya ujung dari semua proses ini untuk kemudian menyingkirkan 75 orang yang selama ini radikal," tambahnya.
Adnan setuju soal istilah radikal disematkan kepada 75 pegawai KPK, tetapi radikal dalam pengertian pemberantasan korupsi."Sehingga sangat tidak disukai oleh siapapun yang melakukan korupsi dan ini menunjukkan dan mencerminkan bahwa arah politik pemberantasan korupsi juga sedang tidak baik-baik saja," katanya.
Berbeda dengan CPNS
Sementara itu, Plt Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Badan Kepegawaian Negara (BKN) Paryono mengatakan, tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dilakukan terhadap pegawai KPK berbeda dengan TWK bagi calon pegawai negeri sipil (CPNS).
“Tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dilakukan bagi pegawai KPK ini berbeda dengan TWK yang dilakukan bagi CPNS,” kata Paryono dalam keterangan tertulis, Sabtu (8/5).
Paryono menjelaskan, CPNS merupakan calon karyawan dalam jenjang pemula atau posisi entry level sehingga TWK terhadap CPNS berupa pertanyaan soal pemahaman akan wawasan kebangsaan. Sementara itu, pegawai KPK yang alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN) sudah menduduki jabatan senior. Oleh karena itu, diperlukan jenis TWK berbeda.
“Sehingga diperlukan jenis tes yang berbeda, yang dapat mengukur tingkat keyakinan dan keterlibatan mereka dalam proses berbangsa dan bernegara,” tutur dia.
Dalam TWK pegawai KPK, Paryono mengatakan, metode yang digunakan adalah assessment center yang juga dikenal sebagai multi-metode dan multi-asesor.
Ia menyebutkan, asesmen ini dilakukan dengan menggunakan beberapa alat ukur, yaitu tes tertulis indeks moderasi bernegara dan integritas (IMB 68), penilaiaan rekam jejak (profiling), dan wawancara. Baca juga: Sebut Seleksi KPK Ketat, Johan Budi Kaget Kasatgas hingga Eselon I Tak Lolos TWK Kemudian, Paryono menekankan, banyak pihak yang dilibatkan dalam proses asesmen. Ia menegaskan, tim observer berasal dari sejumlah instansi yang juga telah memiliki pengalaman dan selama ini bekerja sama dengan BKN dalam mengembangkan alat ukur tes wawasan kebangsaan. Instansi tersebut yakni Dinas Psikologi TNI AD, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), BAIS, dan Pusat Intelijen TNI AD.
Samad Nggak Yakin ada OTT Menteri Lagi
Di sisi lain, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad sangsi akan ada lagi Operasi Tangkap Tangan (OTT) sekelas menteri di KPK. Abraham merasa ada skenario untuk menyingkirkan 75 pegawai senior KPK yang gagal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Sebab, tersebar isu 75 pegawai itu terancam pemecatan lantaran tidak lolos tes."Saya tidak bisa membayangkan kalau mereka semua ini disingkirkan, apakah masih ada OTT sekelas menteri," ujar Abraham saat berbicara di diskusi Polemik Trijaya "Dramaturgi KPK", Sabtu (8/5/2021).
Sebab, kata dia, 75 pegawai KPK itu memiliki integritas dalam pemberantasan korupsi.Disebut Abraham, mereka adalah orang-orang yang tegak lurus, dan tetap menjaga marwah KPK. Abrahan menduga ada skenario untuk menyingkirkan mereka."Karena apa, sejak revisi UU (KPK) di dalamnya kan salah satunya mengisyaratkan tentang mereka nanti pegawainya beralih menjadi ASN," ucap Abraham.
Sejak Revisi UU KPK itu, lanjut dia, ada semacam tujuan untuk 'menyingkirkan' pegawai-pegawai KPK yang berintegritas.Terutama tidak bisa diintervensi dalam pemberantasan korupsi."Karena saya tahu persis bahwa 75 orang ini dikenal tanpa kompromi memberantas korupsi, tanpa pandang bulu, orang-orang yang kita harapkan masih bisa menjaga marwah KPK," ucap Abraham.
Sebelumnya, 75 pegawai KPK dinyatakan tak lolos dalam TWK yang merupakan bagian dari alih status menjadi ASN. Alih status ini konsekuensi dari Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terbaru.
Mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi merasa ada keanehan soal asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dilakukan KPK bagi pegawainya.Johan melihat KPK dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) saling lempar tanggung jawab soal TWK di KPK."Ada keanehan juga sebenarnya yang mengadakan tes siapa, kok pimpinan KPK melemparkan nasib kepada Kemenpan RB, Kemenpan RB mengatakan itu urusan pimpinan KPK," ujar Johan.
Dalam TWK melibatkan sejumlah pihak yakni BIN, Dinas Psikologi Angkatan Darat, BNPT, hingga BAIS.Namun, kata Johan, yang terpenting, alih status yang diakibatkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korups itu tidak memiliki dampak pemberhentian terhadap pegawai KPK.
"Pegawai KPK yang ikut tes tidak boleh nanti dikurangi, misalnya nanti ya karena ada perubahan UU, mau tidak mau dia ASN jangan sampai diberhentikan dan dikurangi hak-haknya apa itu gaji, tunjangannya, nanti di RDP saya akan tanyakan ke pimpinan dan Dewas KPK gimana jalan keluarnya tanpa memberhentikan dan mengurangi hak pegawai KPK," ujar Johan. (tribun network/kps/reza deni)