Oleh Prof. DR. Masrukhi, MPd.
Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang
ADALAH Ahmad Ibnu Arrosyid, salah seorang pangeran dari Dinasti Abbasiyah, memilih hidup sebagai rakyat biasa di pinggiran kota Basrah; hidup sederhana dengan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dia memilih melarikan diri dari hiruk pikuk istana ayahnya, yang berlimpah kemewahan dan kesenangan duniawiyah.
Tidak segan-segan dia berada di pasar Basrah bersama-sama dengan para pekerja kasar lainnya untuk mengadu nasib.
Dengan bermodalkan kuas dan tempayan, dia menawarkan jasa di pasar sebagai tukang cat dengan bayaran sehari 1/6 dirham, yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya selama satu minggu.
Hidup yang sangat berkekurangan untuk ukuran masyarakat Basrah waktu itu. Akan tetapi itulah yang dipilih sang pangeran, demi memenuhi hasratnya tenggelam dalam nikmatnya buaian ibadah kepada Allah swt.
Suatu saat ketika dia jatuh sakit, ada tetangganya yang sangat peduli mengunjungi rumahnya, dan ditanyakan “apakah kamu meninginkan sesuatu?”.
Dia menjawab, “rasanya aku akan mati. Bila aku mati cucilah jubah dan sarungku untuk kafanku, dan bukalah saku jubahku, karena di dalamnya terdapat cincin dari yaqut, bawalah cincin itu pada khalifah Harun Al Rasyid dan berikan padanya”. Tidak lama setelah itu sang pangeran meninggal dunia.
Cincin Yaqut
Merasa mendapatkan wasiat, maka sang tetangga itu mengambil cincin yaqut dari saku jubahnya, untuk kemudian diserahkan kepada khalifah Harun Al Rasyid. Serta merta sang klalifah sangat kaget ketika menerima cincin yaqut tersebut, karena cincin itu merupakan ciri kebesaran dari kelurga kerajaan yang hanya diberikan kepada anak-anaknya.
“Dari mana cincin ini kau dapat?” tanyanya. Maka diceritakanlah kepada khalifah, bahwa cincin itu diperoleh dari seorang pemuda tukang cat, tinggal di pinggiran kota Basrah (Irak), di sebuah gubug reyot dengan kondisi kehidupannya yang amat miskin. Pemuda itu sangat jujur dan tidak pernah meninggalkan detik-detik waktunya untuk beribadah kepada Allah.
Mendengar ceritera tersebut, tiba-tiba sang khalifah tersungkur dengan kepala di tanah, menangis sejadi-jadinya, dan berkata.
"Pemuda itu adalah anakku, ia meninggalkan aku setelah kudesak dia untuk menjadi khalifah kelak sebagai penggantiku.
Anakku Ahmad senantiasa memberikan nasihat, ia berkata padaku bahwa ia mengkhawatirkan bencana kekuasaan atas diriku.
Kini dia telah kembali kepada Allah tanpa mengambil sedirham pun dari hartaku, sedangkan aku seorang khalifah, dia lebih suka memilih bekerja sebagai tukang cat daripada sebagai khalifah.
Demi Allah sungguh saya malu pada diriku jika anakku menjadi seorang tukang cat, yang cukup dengan uang 1/6 dirham dalam satu minggu, sementara aku memiliki kekayan yang melimpah.
Sungguh ia bertemu dengan Allah dalam keadaan miskin harta, sementara aku kelak bertemu Allah dan hisabku akan lama, karena harus mempertanggung jawabkan setiap dirham yang tersimpan dalam almari-almariku”. Cukup lama sang khalifah berkabung dan meratapi anaknya itu.
Kisah ini ditulis sangat apik dan menyentuh para pembaca, oleh Syeh Abdul Mun’im Qindil dalam bukunya khayaatus sholihin. Tidak jarang dalam kehidupan sehari-hari, kita hanya terbelenggu pada keinginan-keinginan biologis belaka yang memerlukan pemuasan sesegera mungkin (immediate gratification).
Meminjam teori Sigmund Freud, kebutuhan itu hanya terjadi pada fase kekanak-kanakan. Freud membagi tiga tahap perkembangan kenikmatan anak-anak, yang semuanya bersifat kongkrit, biologis, dan pemenuhannya sesegera mungkin.
Tahap kenikmatan
Pada masa awal, letak kenikmatan itu ada di mulut (periode oral). Anak-anak menemukan kenikmatannya ketika memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya.
Oleh karena itu sedang apa pun seorang anak, dia akan mencoba meraih benda di sekitarnya untuk dimasukkan ke mulutnya. Tahap kedua, pusat kenikmatan itu bergeser pada daerah sekitar anus (fase anal).
Dia beroleh kenikmatan ketika buang air besar, bahkan dia merasa nikmat melihat tumpukan kotorannya sendiri yang banyak, sambil dipermainkan. Tidak heran jika seorang anak betah lama-lama berada di toilet ketika sedang buang air besar.
Selanjutnya kepribadian anak berkembang lagi memasuki tahap ketiga, yaitu periode persiapan menjadi orang dewasa, bahwa pusat kenikmatan letaknya pada alat kelamin (fase genital). Dia senang mempermainkan alat kelaminnya dan memperlihatkannya pada teman sebaya.
Sesungguhnya kebutuhan manusia terus berkembang. Semakin paripurna kepribadian seseorang semakin dia membutuhkan kepuasan-kepuasan yang bersifat filosofis dan rukhaniah. Abraham Maslow menyebutnya dengan self actualization (attakaamul al ruhaani) sebagai kebutuhan tertinggi.
Kehidupan modern dengan segala kemajuannya kerapkali menciptakan perangkap terjadinya fiksasi kepribadian. Banyak orang dewasa yang terhambat kepribadiannya, hanya sebatas pada pemenuhan kebutuhan oral atau genital saja. Perbedaannya makan dan minum itu dirubah dalam bentuk simbol seperti kepemilikan harta benda yang melimpah.
Dalam konteks ini, perintah puasa Ramadan seperti yang tersurat dalam Al Baqarah 183, merupakan sebuah bentuk kasih sayang Allah. Kasih sayang untuk mengontrol manusia agar tidak terjebak hanya pada kebutuhan fisik belaka yang bersifat fana.
Hakekat Kemanusiaan
Banyak nilai yang dapat dipetik dari ibadah puasa ini, sebagai upaya mengenali hakekat kemanusiaan. Pertama, adalah jiwa ikhlas. Ikhlas berarti beramal semata-mata karena mengharap ridha Allah swt. Puasa merupakan ibadah yang tidak dapat dipertontonkan pada orang lain.
Dalam puasa orang dididik bahwa keridaan Allah lebih besar daripada dunia dengan segala isinya. Waridlwanun MinaLLahi Akbar (QS 9:72). Kedua, pembersihan diri. Dalam menjalankan ibadah puasa seorang muslim dididik untuk menghindarkan diri dari segala perbuatan tercela.
Ia mengendalikan lidahnya supaya tidak mengeluarkan kata-kata keji dan menyinggung orang lain. Bahkan jika dia dicemoohkan sekali pun, nabi menyuruh kita untuk berkata Inni shooimun (Saya sedang berpuasa). Ia mengendalikan telinganya, pandangannya, seluruh anggota badannya, bahkan getaran hatinya.
Pada suatu hadits diceritakan; ketika di suatu siang di bulan Ramadan ada seorang sahabat perempuan yang memaki-maki pembantunya. Rasulullah menyuruh sahabat yang lain untuk membawakan makanan, dan menyuruh sahabat wanita tersebut untuk memakannya.
“Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencacimaki pembantumu. Sesungguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa, dan betapa banyaknya orang yang kelaparan," kata Nabi.
Ketiga, Ikhsan. Melalui puasa pula seorang muslim diajarkan untuk selalu membiasakan diri berbuat baik. Berbuat baik kepada Allah melalui disiplin ibadahnya; setiap saat digerakkan bibir dan lidahnya untuk berdzikir dan membaca Al Quran, ditegakkan kakinya untuk shalat malam, dipenuhinya waktu sahur dengan istighfar.
Selain itu juga berbuat baik kepada sesama makhluk Allah; dibiasakannya memperbanyak sedekah, menolong orang lain, menggembirakan yang susah, dan meringankan beban yang berat, dan peduli terhadap kehidupan sekitar. (*)
Baca juga: Viral Pengamen Diminta Nyanyi 150 Lagu, Netizen: Pensiun Ngamen
Baca juga: Chord Kunci Gitar dan Lirik Kisah Sempurna Mahalini
Baca juga: Rumah Dijual di Semarang Beserta Tanah Murah Senin 25 April 2022
Baca juga: Info Mobil Bekas Dijual di Semarang Murah Berkualitas Senin 25 April 2022