Berita Semarang

Mahasiswa Program Doktor Kesehatan Undip Pelajari Tata Kelola Kesehatan Suku Baduy

Penulis: Fransisca Andeska
Editor: m nur huda
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Beberapa mahasiswa Program Doktor Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang saat mengunjungi masyarakat suku Baduy luar, Jawa Barat.

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Sebagian masyarakat Indonesia mungkin sudah tahu bagaimana masyarakat suku Baduy menjalani aktivitasnya.

Suku Baduy menjadi salah satu suku di Indonesia yang masih memegang teguh ajaran budaya leluhur mereka hingga saat ini.

Bahkan, di tengah-tengah pergerakan budaya global yang cukup pesat, masyarakat suku Baduy tetap menjaga budaya leluhur mereka.


Budaya yang dilakukan suku Baduy tak hanya terkait pakaian, seni, komunikasi, dan tata kelola suku. Melainkan juga bagaimana menjaga kesehatan antar warga suku Baduy.


Ari Udijono, mahasiswa Program Doktor Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang, menjelaskan jika suku Baduy dibagi menjadi dua golongan. Suku Baduy dalam dan Baduy luar.


"Suku Baduy dalam masih memegang adat dan budaya dengan lebih ketat dibanding masyarakat suku Baduy luar. Tidak ada teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mengandalkan semua yang ada di alam sekitar," terangnya saat mengikuti program belajar lapangan Memahami Perilaku Kesehatan Masyarakat Suku Baduy belum lama ini.


Kunjungannya bersama Ketua Program Doktor, dr. Bagoes Widjanarko, dan 20 orang lainnya ini dalam rangka mempelajari perilaku masyarakat Baduy dalam menjaga kesehatan.


"Selama dua hari kami belajar memahami perilaku masyarakat Baduy dalam menjaga kesehatan dan pengobatan. Kami bermalam bersama masyarakat Baduy luar," jelas Ari.


Perjuangan Ari bersama mahasiswa lain untuk menuju ke perkampungan suku Baduy luar harus ditempuh selama 1,5 jam.


Meski sudah lebih modern, suku Baduy luar tetap tidak menerima aliran listrik, telepon, dan kendaraan untuk menunjang aktivitas sehari-hari.


"Meskipun suku Baduy luar sudah berinteraksi dengan masyarakat luar, tapi mereka masih tetap menjalankan budaya asli dengan baik," tegasnya.


Hingga saat ini suku Baduy luar maupun dalam tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Maka tak heran jika banyak masyarakat suku Baduy yang tidak bisa baca tulis.


"Mereka juga relatif tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik, sehingga cukup menyulitkan kami dalam berinteraksi dan menyampaikan pesan kesehatan," paparnya.
 
Di dalam kehidupan yang jauh dari teknologi tersebut, masyarakat Baduy, terutama perempuan yang sudah menikah dan mempunyai anak, sudah cukup memahami pentingnya air susu ibu (ASI).


"Mereka menyebutnya sebagai air tetek untuk bayi dan balita. Para ambu, perempuan Baduy yang sudah memiliki anak, memberikan ASI sampai usia 2 (dua) tahun. Tidak ada pemberian susu formula, tetapi mereka memberikan makanan tambahan sejak bayi berusia 2 (dua) bulan, yaitu biskuit dan pisang," kata Ari.


Menurut keterangan petugas kesehatan Puskesmas Cisimeut, banyak sekali tantangan dalam melayani suku Baduy ini. Antara lain masyarakat yang masih cukup tertinggal dan memegang teguh peraturan adat.


"Kondisi geografis lokasi tempat tinggal suku Baduy yang hanya dapat diakses dengan berjalan kaki, juga jadi tantangan tersendiri. Meski demikian, masyarakat suku Baduy sudah dapat menerima program-program kesehatan dari Puskesmas Cisimeut," pungkasnya.(*)

 

Berita Terkini