TRIBUNJATENG.COM, KUDUS - Lentog Tanjung kini semakin mantap menjadi kuliner khas Kabupaten Kudus.
Seperti namanya, produksi Lentog Tanjung berpusat di Desa Tanjungkarang, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus.
Terdapat lebih dari 100 pedagang lentog dari wilayah Desa Tanjungkarang yang saat ini masih aktif berjualan.
Baca juga: Lentog Tanjung dan Soto Kebo Kudus Tercatat dalam HKI, Diakui Sebagai Kuliner Khas Kota Kretek
Mereka tersebar di sepanjang jalanan desa sekitar, dan sebagian terpusat di pasar lentog.
Kuliner Lentog Tanjung memiliki cita rasa khas gurih yang dihasilkan dari kuah santan.
Selain itu, lentog disajikan tidak menggunakan bahan dasar nasi, melainkan lontong yang dipotong tipis-tipis.
Dalam penyajiannya, isian lentog terdiri dari potongan lontong, tahu, tempe, sayur nangka muda, dan diguyur kuah santan.
Biasanya pedagang juga menyediakan kerupuk, aneka sate-satean, gorengan, sambal, dan beberapa bahan pelengkap sajian lainnya.
Beberapa pedagang juga menyediakan cabai yang telah dikukus untuk memunculkan cita rasa pedas yang khas bagi yang berkenan.
Kuliner lentog sudah melekat bagi masyarakat Desa Tanjungkarang.
Konon, kuliner ini sudah ada semasa awal penyebaran Islam di wilayah Kabupaten Kudus.
Dengan mengusung konsep kuliner yang tidak menggunakan nasi, namun bisa mengenyangkan.
Satu di antara lentog yang terkenal dan legendaris adalah Lentog Warsito yang terletak di kawasan Pasar Lentog Tanjungkarang.
Perintis Lentog Warsito adalah Mbah Warsito, dirintis kurang lebih era 1970-an.
Saat ini, usaha Lentog Warsito diteruskan oleh putrinya Sediyati (50) sebagai generasi kedua.
Mbah Warsito meninggalkan nama usaha dan resep pengolahan khas lentog keluarganya untuk diteruskan oleh anak-anaknya.
Sediyati mengatakan, awal mula Lentog Warsito berdiri masih dalam masa perjuangan mengenalkan kuliner baru kepada masyarakat.
Kata dia, sang ayah dahulu harus memikul gerobak rombong berkeliling Kota Kudus untuk mencari pembeli.
Perjuangan tersebut dilakukan setiap hari menyusuri jalanan dan perkampungan di wilayah Jati hingga Alun-alun Kudus.
"Dahulu, perjuangan mengenalkan lentog cukup berat karena harus dipikul keliling. Awalnya ayah saya dibantu ibu, kemudian baru saya teruskan mulai 1991," terangnya, Kami (23/8/2023).
Sediyati menyebut, perjuangan jualan keliling sang ayah kira-kira berlangsung kurang lebih 10 tahun.
Pada 1980-an, Lentog Warsito sudah mendapatkan beberapa pelanggan, sehingga bisa standby di wilayah Tanjungkarang.
"Sejak itu bapak tidak lagi berjualan keliling. Pelanggan bisa datang langsung ke warung," ujarnya.
Saat ini, Sediyati masih menjaga warisan resep bumbu rempah yang diwariskan oleh ayahnya.
Setiap harinya, dia menyiapkan kurang lebih 100 porsi.
Namun, khusus weekend porsi yang disiapkan bertambah hingga 500 porsi per hari.
Setiap 100 porsi, membutuhkan lima kelapa untuk membuat kuah santan yang gurih.
Satu porsinya dibandrol Rp 6.000.
Ia berjualan mulai pukul 07.00 - 13.00 WIB, selebihnya waktu tersisa digunakan untuk istirahat dan menyiapkan bahan-bahan untuk berdagang esok harinya.
"Alhamdulillah semakin ramai karena lentog semakin dikenal masyarakat luas. Kadang ada juga pelanggan sekali makan bisa sampai 2-5 porsi," tuturnya.
Baca juga: Pusat Kuliner Lentog Tanjung Kudus Diserbu Para Pemudik
Dia berharap, kuliner lentog bisa terus berjaya di kalangan masyarakat umum.
Pelanggan bisa memilih lentog mana yang ingin dicicipi ketika datang langsung ke Tanjungkarang. Karena puluhan hingga ratusan pedagang lentog bakal dijumpai di lokasi sentra produksi.
"Secara umum, resep lentog sama. Hanya saja, beda tangan beda juga rasa yang dihasilkan. Tinggal masyarakat lebih suka lentog yang seperti apa," ucapnya. (Sam)