TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Legal Resource Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang menilai implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) masih sangat lemah di Jawa Tengah.
Aparat penegak hukum disebut masih kesulitan memahami UU TPKS sehingga berimbas banyak kasus yang mandek.
Terutama kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dewasa.
"Kekerasan seksual terhadap anak masih banyak diproses karena dapat menggunakan UU perlindungan anak. Namun, kekerasan terhadap dewasa ini menjadi tantangan," ujar Direktur LRC KJHAM, Nur Laila Hafidhoh, saat acara Diskusi Publikasi Laporan Tahunan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Jawa Tengah, di kedai Agaya, Pleburan, Kota Semarang, Jumat (15/12/2023).
Kondisi tersebut, lanjut Laila, dapat dilihat dari kasus pencampuran sperma di makanan yang terjadi pada tahun 2021, di mana kasus tersebut tidak dianggap sebagai kasus kekerasan seksual. Sebaliknya, kasus tersebut dianggap sebagai kasus perbuatan tak menyenangkan di ruang publik.
Selain itu, banyak penyidik yang masih kesulitan memahami kasus kekerasan seksual yang menimpa orang dewasa karena dianggap memiliki relasi hubungan. Padahal, kasus kekerasan seksual seringkali dilakukan oleh orang terdekat dengan modus relasi pacaran, suami, dan lainnya.
"Penyidik masih menghadapi kesulitan dalam memahami UU TPKS, baik di level Polda maupun di level Polsek dan Polres," jelasnya.
Berdasarkan data LRC-KJHAM dari Januari hingga Desember tahun 2022, tercatat 123 kasus kekerasan terhadap perempuan, di mana 51 persen mengalami kekerasan seksual. Lima wilayah di Jawa Tengah dengan kasus tertinggi meliputi Kota Semarang (56 kasus), Demak (6 kasus), Kabupaten Semarang (4 kasus), Jepara (4 kasus), dan Kota Salatiga (3 kasus).
Untuk tahun 2023, terdapat 90 kasus yang terdata. Para pelaku mayoritas adalah orang dekat, seperti orang tua, guru, dosen, pacar, dan lainnya, hampir tidak ada orang asing.
"Mayoritas kasus melibatkan kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga," tambahnya.
Sementara itu, Kanit PPA Polda Jateng, Kompol Munawwarah, mengatakan bahwa pihaknya menerima aduan kasus kekerasan seksual sebanyak lebih dari 300 kasus di tahun ini. Mayoritas kasus melibatkan KDRT dan kekerasan seksual terhadap anak. Angka tersebut meningkat sebesar 35 persen dibandingkan dengan tahun 2022.
"Angka ini mencerminkan fenomena gunung es karena banyak korban di luar sana yang tidak berani melaporkan. Oleh karena itu, kami terus berupaya bekerjasama dengan berbagai pihak," tuturnya selepas paparan di forum tersebut.
Terkait implementasi UU TPKS, ia mengakui bahwa belum maksimal terutama di tingkat Polres. Kendati demikian, pihaknya terus meningkatkan kapasitas penyidik dengan memberikan pelatihan penanganan psikologis awal terhadap korban. Selain itu, Polwan dilatih untuk menjadi penyidik, dan terdapat juga petunjuk pelaksanaan dari pimpinan terkait penanganan korban kekerasan seksual.
"Perlu dilakukan pertemuan bersama agar implementasi UU TPKS dapat mencapai tingkat optimal," jelasnya. (iwn)