Pati

Bahas Pencegahan Kekerasan Anak, Aktivis dari Berbagai Negara Berdiskusi di Pati

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aktivis antikekerasan dari berbagai negara berdiskusi di Aula RA/MI Miftahul Huda Tondomulyo, Jakenan, Pati, Jumat (28/6/2024).  

TRIBUNJATENG.COM, PATI - Sejumlah aktivis antikekerasan multietnis dari berbagai negara mendatangi Desa Tondomulyo, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati, Jumat (28/6/2024). 

Mereka berdiskusi dengan masyarakat setempat tentang pencegahan kekerasan pada anak. 

Para aktivis ini disambut di Aula RA/MI Miftahul Huda Tondomulyo, sekolah yang dinilai memiliki sistem pembelajaran Hidup Tanpa Kekerasan (HTK) yang efektif. 


Koordinator rombongan, Petrus, menjelaskan bahwa para aktivis yang hadir tergabung dalam naungan Rumah Damai atau Peace Place yang bersekretariat di Muktiharjo, Margorejo, Pati.


Kegiatan di Tondomulyo ini merupakan bagian dari rangkaian workshop Creating Culture Justice and Peace atau membangun budaya damai yang diinisiasi oleh Rumah Damai. 


"Teman-teman ingin bersama-sama membangun hidup damai antarumat beragama. Kami membagikan kekuatan kebaikan dari anak-anak," kata Petrus. 


Rangkaian diskusi dibuka oleh pengurus yayasan MI Miftahul Huda, Sunadi. 


Dia menyebut, sekolah yang dia kelola memang mengadopsi metode pembelajaran berbasis antikekerasan dan cinta lingkungan. 


Metode tersebut digunakan karena dulu Tondomulyo pernah mendapat predikat sebagai desa  dengan tingkat kasus kekerasan tertinggi di Kecamatan Jakenan. 


"Di daerah saya mayoritas beragama Islam. Ketika ada nonmuslim masuk, (masyarakat setempat) sangat sensitif. Lalu 2009 saya kenal Pak Petrus. Saya ingin membongkar prasangka atau pemahaman  tersebut. Maka sekolah ini dibangun untuk membentuk karakter anak (yang toleran)," ucap Sunadi. 


Peserta kegiatan asal Nepal, Sitha, mengaku merasa aman dan disambut hangat ketika berada di Indonesia.


"Saya fasilitator HTK (Hidup Tanpa Kekerasan) di Nepal. Saya ingin belajar bagaimana teman-teman di sini bekerja sama dengan anak kecil," kata dia. 


Sementara, peserta dari Myanmar, Siti Fatimah, mengikuti program Peace Place Pati dengan harapan mampu menyerap ilmu dan menerapkan metode antikekerasan dari Indonesia. 


“Saya dari Myanmar. Di sana terjadi banyak kasus kekerasan seperti yang Anda ketahui. Saya ingin belajar tentang HTK dan menerapkannya di negara saya jika ada kesempatan," ucap dia. 


Selain peserta dari luar negeri, diskusi tersebut juga diikuti oleh masyarakat multietnis di Indonesia, antara lain dari Nusa Tenggara Timur, Papua, Flores, dan Bima.


Adapun peserta dari luar negeri merupakan aktivis dari berbagai negara, di antaranya Malaysia, Filipina, Myanmar, Australia, Kamboja, Amerika Serikat, Korea, Samoa, dan Nepal. 


Selain membahas tema kekerasan, para aktivis juga bertukar pikiran tentang upaya pelestarian lingkungan sungai dari negara masing-masing. (*)

 

Berita Terkini