TRIBUNJATENG.COM, UNGARAN - Satu penemuan manuskrip kuno peninggalan sejarah era Hindu-Buddha di Kabupaten Semarang ditemukan, yakni Prasasti Damalung atau Prasasti Ngadoman.
Prasasti Damalung yang sebelumnya diketahui menghilang ternyata ditemukan di sebuah gudang museum di s-Gravenzande, sebuah kota kecil di Belanda.
Sekretaris Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia, Bonnie Triyana mengunggah foto penemuan prasasti itu di Belanda pada akun X/Twitter dia, @bonnietriyana pada 8 Agustus 2024.
Benda bersejarah itu diyakini berasal dari lereng Gunung Merbabu di Dusun Ngaduman, Desa Tajuk, Kecamatan Getasan.
Damalung sendiri diyakini merupakan penamaan kuno dari gunung yang sekarang disebut Merbabu.
Prasasti tersebut menjadi penemuan baru dari sekian banyak naskah kuno yang sudah ditemukan di lereng Gunung Merbabu.
Baca juga: Rahasia Prasasti Nglumbang Dungik Klaten Akhirnya Diungkap Oleh Peneliti BRIN dan Tim Prancis
Baca juga: Prasasti Batu dan Lontar Kuno Menginspirasi Berdirinya Perpustakaan Bumi di Cartoon Village Sidareja
Upaya pencarian Prasasti Damalung tak lepas dari upaya para peneliti, arkeolog dan sejarawan.
Bonnie menyebut, pelacakan prasasti itu dibantu oleh sejarawan dan kurator senior Museum Volkenkunde, Leiden yang bernama Pim Westerkamp.
Satu di antara pencetus ide serta inisiator pencarian Prasasti Damalung yaitu Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Semarang, Tri Subekso.
Dia dan Bonnie Triyana yang sama-sama alumni Prodi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang berupaya mencari keberadaan prasasti dari jejak-jejak yang ada.
“Saya berkoordinasi dengan Bonnie di rumah saya ketika dia berkunjung ke Semarang pada Desember 2022 lalu.
Saya meminta tolong Bonnie untuk mencari dan memperjuangankan kepulangan (prasasti) ini,” kata Tri Subekso kepada Tribunjateng.com, Minggu (25/8/2024).
Dari data dia, Prasasti Damalung awalnya ditemukan oleh Residen Semarang masa Kolonial Hindia-Belanda, Hendrik Jacobus Domis di Ngaduman pada 1824.
Prasasti itu kemudian dibawa ke kediamannya di Salatiga hingga dipindah ke Batavia.
Dari sana, prasasti itu dibawa ke Leiden, Belanda dan setelah itu tidak diketahui keberadaannya.
Dari penemuan Prasasti Damalung tersebut, Tri berpendapat bahwa kawasan lereng Gunung Merbabu dulunya merupakan skriptorium kuno yang menghasilkan naskah-naskah tentang ilmu pengetahuan, kearifan lokal, serta budi pekerti.
Naskah-naskah yang ditemukan juga menunjukkan cara berpikir masyarakat Jawa pada zamannya.
Ditambah lagi, lanjut dia, Prasasti Damalung juga berisi tentang pemujaan kepada Dewi Saraswati, dewi ilmu pengetahuan dalam kepercayaan Hindu-Buddha.
Sehingga, naskah-naskah penting itu diyakini ditulis oleh para kalangan intelektual kuno pada 1371 Saka atau 1449 Masehi sesuai keterangan waktu pada Prasasti Damalung.
“Saya cukup banyak mengakses informasi bersama filolog, Rendra Agusta meliputi Candi Sokowolu (Tajuk), Prasasti Watu Lawang (Samirono) dan Prasasti Ngrawan (Ngrawan) semuanya di lereng Merbabu, Getasan.
Itu suatu kekayaan dalam konteks khasanah Nusantara, semuanya masih terhubung dengan dengan adanya situs-situs tersebut,” imbuh Tri.
Tri berharap, Prasasti Damalung bisa segera dipulangkan atau dibawa kembali ke Indonesia atau lokasi aslinya di Getasan.
Dengan itu, maka terjemahan-terjemahan baru dari para peneliti akan terus bermunculan hingga didapati makna yang paling mendekati dari isi Prasasti Damalung.
Tri bersama komunitas Cetak Biru Damalung yang terdiri dari antropolog, filolog, arkeolog, musisi, perupa, dan penari juga berharap membaca kembali naskah-naskah Merapi-Merbabu dan menerjemahkannya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.
Dari informasi yang dihimpun, satu di antara terjemahan dari manuskrip di batuan Prasasti Damalung berbunyi “Om Sri Saraswati, gunung Damalung yang agung dan suci.
Engkau adalah kehidupan di buana ini, melingkari, menjelma menjadi manusia, tempat air…sebab Hyang Widi…oleh Dewa Matahari, Dewa Bulan yang menyinari baik buruknya dewa dan manusia.
Juga yang melihat yang punya hati, mendengar akan lolos dari apa-apa yang dilarang oleh tradisi.
Semuanya sama-sama percaya akan tutur yang sejatinya.
Jika ada yang…tanpa memiliki abdi-abdi, mampu tidak membawa seorang wanita, tujuh…tidak beristri dengan sesungguhnya. Pada tahun Saka 1371”. (*)