Readers Note

Ciptakan Stigma Positif bagi Anak Panti Asuhan

Editor: iswidodo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Claudia Linda Mariana Magister Psikologi Unika Soegijapranata

Ciptakan Stigma Positif bagi Anak Panti Asuhan
oleh Claudia Linda Mariana
Magister Psikologi Unika Soegijapranata
PANTI Asuhan yang sebelumnya hanya mengasuh anak yatim piatu, sekarang juga sebagai tempat melanjutkan pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. (Kompas Jakarta, 2022). BPS Jawa Tengah mencatat jumlah Panti Asuhan di Jawa Tengah sebanyak 607 tempat dengan total anak asuh 32.588.
Oleh sebab itu, panti asuhan memiliki kontribusi besar dalam mendidik generasi muda Indonesia. Kenyataannya masih banyak stigma negatif masyarakat Indonesia terhadap anak-anak Panti Asuhan, misalnya pandangan terhadap mereka sebagai anak miskin, telantar, nakal, bodoh, sulit dididik, dan berada dalam bahaya hukum. (Sunanto, 2021).
Bahkan saat memakai baju yang sama, seringkali orang bercanda dengan komentar, "Dari Panti Asuhan mana nih?". Sayangnya, stigma ini sudah menyebar di semua lini masyarakat Indonesia. (Martika & Ian, 2019). Perlakuan negatif, seperti ejekan dari teman, dan pandangan sebelah mata masyarakat, menyebabkan anak Panti Asuhan memiliki penerimaan diri yang buruk (Resty, 2015).
Stigma tersebut muncul karena kasus-kasus yang sering ditemui masyarakat seperti perilaku anak Panti yang mencuri, berbohong dan bicara kurang sopan. Anak-anak Panti bahkan sering menjadi korban pelecehan seksual sehingga mengalami depresi. (Kompas TV).
Jangan salah. Tidak sedikit terjadi korupsi yang dilakukan oleh pengelola panti asuhan tekait dana bantuan. Mungkin juga dengan memanfaatkan dana CSR dari perusahaan tertentu. Ada juga yang memperkaya diri sendiri dengan mengatasnamakan untuk membantu panti asuhan. Akibatnya, sebagian masyarakat ragu untuk menyumbang berupa uang kepada panti asuhan. Mereka memilih untuk beri bantuan berupa barang sesuai kebutuhan anak panti asuhan.
Idealnya, panti asuhan bisa jadi tempat berlindung bagi anak yatim piatu dan anak-anak miskin, agar memiliki kehidupan dan pendidikan yang lebih baik. Sangat diperlukan pantauan serius dari Pemerintah agar seluruh Panti Asuhan memiliki kualitas dan standar yang benar, sehingga terhindar dari hal-hal yang seharusnya tidak terjadi.
Kondisi Anak
Sebagian besar anak Panti Asuhan masih belum mampu menerima keadaan mereka sendiri. Mereka merasa terbuang atau dijauhkan dari keluarga. (Wiraswati, 2016). Mengalami resiko lebih tinggi terhadap diskriminasi masyarakat, lebih rentan terhadap depresi, putus asa, dan masalah kesehatan mental lainnya. Sebuah perjuangan berat bagi mereka untuk bangkit dari keterpurukan. Dukungan sosial masyarakat merupakan hal penting dalam penerimaan diri anak-anak yatim.
Stigma Negatif
Dampak internal stigma negatif masyarakat pada anak-anak Panti Asuhan adalah rendah diri, tidak berani bermimpi tentang masa depan, tertutup, depresi dan kesulitan bersosialisasi. Dampak eksternal dari stigma negatif pada anak-anak Panti Asuhan adalah berkurangnya minat calon orang tua asuh untuk mengadopsi mereka.
Mereka perlu bantuan dari orang dewasa, dalam hal ini adalah pengelola dan pengasuh Panti Asuhan yang dapat dijadikan figur yang benar, para aktivis sosial, pekerja kesehatan mental, sekolah dan lingkungan yang mendukung, kepedulian dan perlindungan dari pemerintah, penerimaan dan dukungan dari masyarakat
Kerjasama Mentoring
Agar anak panti asuhan bisa makin kompeten maka perlu kerjasama dengan mentoring. Yaitu menjalin kerjasama dengan relawan yang tajam di bidang yang dibutuhkan anak panti. Misal dari sisi psikologi, untuk membangun kesehatan mental mereka. Bidang leadership membangkitkan pemimpin-pemimpin muda yang berkarakter.
Bidang kesehatan bisa membangun gaya hidup sehat. Selain itu penting juga anak panti dibina dalam hal skill komunikasi, religi, nilai-nilai moral dan sebagainya. Bahkan jangan sungkan ada pelatihan penjualan produk, keterampilan membuat kerajinan, skill khusus, UMKM dan sebagainya.
Kesetaraan Hak
Karena apapun kondisinya, anak panti asuhan mempunyai hak yang sama dalam hal perlindungan sebagai warga negara. Mereka juga punyak hak untuk diperjuangkan agar memiliki pendidikan dan peluang kerja yang sama dengan anak lainnya. Maka masyarakat juga harus memahami bahwa anak panti adalah anak-anak kita juga, yang sederajat secara individu maupun kultural.
Dalam hal standarisasi panti asuhan, pemerintah telah menerbitkan persyaratan perizinan dan akreditasi untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), termasuk Panti Asuhan. Menteri Sosial Saifullah Yusuf baru-baru ini menyatakan bahwa jumlah LKS di Indonesia mencapai 16.254 unit, dengan 12.738 LKS yang terakreditasi, 872 LKS yang tidak terakreditasi atau tidak memenuhi standar, 2.292 LKS yang tidak memenuhi syarat, dan 352 LKS yang tidak terlacak. (*)

 

Berita Terkini